Friday, November 27, 2015

Kajian Orangtua Kuttab Al-Fatih Depok

Kajian Orangtua Kuttab Al-Fatih Depok
Ustadz Budi Ashari, Lc.
Bazaar Madinah, 13 Desember 2014

Pola kita dalam mendidik anak-anak harus kita ubah. Peran sekolah hanya sebagian saja dalam pendidikan anak, sisanya dilakukan oleh orangtua. Oleh karena itu, orangtua harus terus belajar untuk meningkatkan perannya dalam mendidik anak.

Iman sebelum Quran adalah tema utama di Kuttab. Bermula dari hadist Jundub bin Abdillah, konsep inilah yang menjadi panduan dalam mendidik generasi. Cara keluar dari kesesatan yang nyata ialah dengan memperhatikan urutan perbaikannya.

Hal yang kita lakukan di Kuttab Al-Fatih saat ini sebenarnya belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan peradaban Islam.

Hasil dari pendidikan yang langsung melompat ke Al-Quran (melewati iman) adalah munculnya penghafal Quran yang buruk keimanannya, akhlaknya, dan keilmuannya.
Tidak semua sahabat Nabi hafal Quran, namun keimanan mereka kokoh dan teraplikasikan dalam kehidupan.

Seringnya, kita lebih mengapresiasi anak yang hafalannya banyak dibandingkan anak yang adab/akhlaknya baik. Perlu pembenahan bagi anak yang hafalannya banyak namun moralnya buruk.

Cobalah mulai memperhatikan keimanan anak-anak, jangan hanya hafalan dan nilai akademiknya saja yang diperhatikan. Keimanan itu misalnya terlihat dari mulai tumbuhnya kecintaan terhadap Nabi dan orang beriman.

Orang tawakal itu ialah yang mampu menyeimbangkan antara Raja' (harapan) dan khauf (ketakutan).
Raja' secara berlebihan berpotensi melanggar rambu syariat. Sedangkan khauf yang berlebihan akan menimbulkan ketakutan dan kelesuan.

Modal utama kita adalah keyakinan. Terutama keyakinan akan janji Allah dan Rasulnya akan kebesaran dan kemuliaan Islam di kemudian hari.

Salah satu contoh dari keimanan: Khansa RA kehilangan 4 orang putranya sekaligus di perang Qadisiyah. Saat dikabari, Khansa hanya tersenyum dan berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan syahidnya mereka."

Iman berbeda dengan karakter, bahkan ia melampaui karakter. Seseorang yang memiliki keimanan akan sangat kokoh dan stabil dalam menghadapi hidupnya.

Bangsa ini sebenarnya berada dalam kebingungan besar, hendak dibawa ke mana generasi ini? Jika pemimpinnya memberikan teladan yang tidak baik, bagaimana dengan generasi di bawahnya?

Waspadailah syariat yang menjadi tren. Syariat itu punya pakem yang jelas, sedangkan tren senantiasa berubah mengikuti zamannya.

Membangun sebuah keyakinan/itikad perlu usaha yang sangat besar. Inilah yang dahulu dilakukan oleh para sahabat, dan kita hendak mengikutinya.

Iman yang sudah memiliki bibit mudah diketahui, yaitu dengan memperhatikan lisannya. Lisan memiliki peran yang sangat besar dalam menghinakan atau memuliakan seseorang. Saat lisan baik, Insya Allah akan diikuti dengan amal perbuatan.

Di akhir, Ustadz Budi mengingatkan kembali jangan sampai kita salah fokus dalam melaksanakan kurikulum Iman sebelum Quran ini. Jangan sampai Al-Qurannya dikejar tapi imannya ketinggalan.

______________________
Ilmu Fikih mengajarkan kita tentang urutan kehidupan. Pembahasan dalam kitab fikih dimulai dari bersuci, hubungan dengan Allah, kemudian hubungan dengan manusia, muamalah, jual beli, lalu nikah, baru setelah itu pembahasan mengenai negara, hudud, sampai jihad.

Diresume oleh : Abdullah Ibnu
Diteruskan oleh :
Abduh al Baihaqi
@indrafathiana
@anisahmegawati
@fetryzulbeatri
@hilmiyatilalifah
@penyanggraeni
(Tulis nama Anda jika meneruskan lagi

Tuesday, November 24, 2015

Memohon Ampun dan Meminta Rahmat


…. Rabbanaa aamannaa faghfirlanaa warhamnaa wa anta khairurraahimiin…
“Sesungguhnya, ada segolongan dari hamba-hamba-Ku berdo`a (di dunia): "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling Baik”. (Al-Mukminun: 109)

Rabbanaa zhalamnaa anfusanaa wa in lam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakuunannaa minal khaasiriin…
"…Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi. (Al-A`raaf: 23)

Rabbighfirlii wa liwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaa nii shaghiira…
Ya Rabbi ampunilah dosaku dan dosa kedua orangtuaku dan sayangilah keduanya sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil.

Ini juga merupakan doa yang sering kita ucapkan. Di doa yang pertama, setelah memberikan pengakuan kepada Allah swt bahwa kita beriman, diikuti dengan memohon ampun dan meminta rahmat Allah swt. Ampunan dan rahmat yang memang hanya Allah yang punya kehendak terhadap kita, apakah akan Allah karuniakan atau tidak.

Ya, meski sudah ada pengakuan keimanan, itu tidak semata urusan kita selesai, tapi ada lanjutan untuk memohon ampunan dan rahmat Allah swt. Karena, saat pengamalan dari ilmu sehingga meningkatkan keimanan, bisa jadi kita sempat lalai atau salah, sehingga kita perlu ampunan dari Allah swt. Diikuti lagi dengan meminta rahmat kepada Allah karena tanpa rahmat Allah kita sungguh bukanlah apa-apa.

Tanpa ampunan dan rahmat Allah swt, kita bukanlah apa-apa, bahkan kita adalah orang-orang yang merugi. Ini sesuai dengan doa yang kedua, ‘wa in lam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakuunannaa minal khaasiriin’ (jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi).

Berlanjut ke doa yang ketiga, yakni memohon ampunan untuk diri dan orang tua, serta meminta rahmat Allah untuk orang tua, -dengan syarat- sebagaimana orangtua menyayangi kita di waktu kecil.

Setelah menjadi orangtua, dan mengajarkan doa tersebut kepada anak, juga setelah membaca beberapa kisah ibu-ibu shalehah yang senantiasa mendoakan anak-anak mereka, sontak membuat saya tercenung. Saat anak mendoakan kita agar dosa kita diampuni dan Allah memberikan rahmat kepada kita, masih untung jika anak-anak kita anak yang shaleh dan yang hanya mengingat kebaikan kita saat mereka mendoakan kita. Namun, jika saat mereka mendoakan kita, yang terkenang dalam hati dan benak anak saat berdoa kepada Allah tentang bagaimana buruknya kasih sayang kita kepada mereka saat mereka kecil. Lantas, bagaimanakah kita akan memperoleh rahmat Allah swt? Dan, ketika rahmat Allah tidak kita dapatkan, betapa meruginya kita…

Belum lagi, ketika juga ternyata kita sebagai orangtua juga jarang, bahkan nyaris tidak ada mendoakan ampunan dan rahmat untuk anak kita. Kalaupun ada, mungkin hanya diselipkan dalam mengucapkan salam kepada anak-anak “Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakaatuhu”. Masih syukur, jika saat mengucapkan salam, kita mengingat bahwa itu merupakan permintaan rahmat dan berkah yang kita mintakan untuk anak. Namun, jika itu hanya sekedar meluncur di lidah… tentunya tidak akan membekas, apalagi akan dikabulkan.

Mulai belajar lagi, bersungguh-sungguh dalam menggunakan lisan dan menggunakan hati saat berbicara atau berdoa, umumnya dalam segala hal, khususnya kepada anak-anak. Mulai belajar mendoakan ampunan dan rahmat Allah swt untuk anak-anak dan bersungguh-sungguh dalam mengucapkannya. Menjauhi doa-doa yang tidak baik dan kata-kata yang sia-sia dalam mendidik anak-anak kita.

Ya Rabb… bimbinglah kami…

G.K. Parahyangan, 25 Nov 2015/13 Shafar 1437