Suatu kali Azzam bertanya,
saat saya membaca Al-Qur’an.
“Bunda, Bunda sedang
‘ngobrol’ sama Allah ya?”
“Kenapa bang?”
“Kata bunda, kalau mau
‘ngobrol’ sama Allah, bisa baca Al-Quran.”
“Owh… Iya bang.”
“Kalau Abang baca Iqra’
gimana Bunda?”
“Kalau baca Iqra’, namanya
Azzam sedang belajar membaca perkataan Allah di Al-Quran, nantinya insyaallah
Azzam jadi bisa ‘ngobrol’ langsung sama Allah dengan Al-Qur’an.”
Menanamkan iman sebelum
Al-Qur’an. Sebuah PR besar yang saya rasakan semenjak belajar menjadi orang tua
yang sebenarnya. Sempat bertanya pada diri sendiri, “Kemana saja saya selama
ini? Karena masih sangat banyak ketertinggalan dan kejahilan yang masih saya
rasakan. Tantangan-tantangan baru mulai terbentang dalam mendidik anak, bukan
hanya sekedar tantangan, namun kewajiban diri untuk belajar menjadi lebih baik
lagi. Lebih baik hatinya, ilmunya, imannya dan amalnya.
Perlahan namun pasti, saya
mulai memperbaikinya, walau kadang masih sempat terjatuh ke lubang yang sama,
semoga kesungguhan itu tak lantas melemah apalagi sirna. Ya, anak-anak
membutuhkan Bunda sebagai sekolah pertamanya dengan Ayah sebagai kepala
sekolahnya.
Saat Ayah dan Bunda saling
membahu, anak-anak sangat bahagia mendapatkan hadiah kehangatan dari kedua
orangtuanya, namun saat tak lagi menyapa, bahagia pun terenggut dari hati
anak-anak. Kewajiban Ayah Bunda menjaga fitrah anak-anak untuk menjadikan
mereka Insan Kamil di muka bumi
menuntut orangtua untuk menjaga fitrah (keislamannya) terlebih dahulu dengan
iman dan amal shaleh.
Iman adalah perkara hati,
lisan dan perbuatan manusia. Saat orangtua berusaha menjaga keimanannya bahkan
meningkatkannya, saat itu Allah swt tunjukkan jalan-jalan-Nya menuju
kebahagiaan yang sempurna, walau dalam perjalanan itu tak selalu mulus dan
bahagia. Karena iman tak sekedar kata, namun menuntut ketaqwaan dan ada ujian
untuk mengecap manisnya.
Rasulullah bersabda tentang
keunikan orang mukmin:
Dari Shuhaib bin Sinan dia berkata: Rasulullah
bersabda: “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua
keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang
mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah
kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu
adalah kebaikan baginya” (HR. Muslim)
Ya, uniknya keadaan mukmin adalah semuanya
baik. Sehingga dalam mendidik pun, orangtua (baca:kita), wajib menyertai syukur
dan sabar dalam menjalankan peran tersebut. Dengan syukur dan sabar maka
semuanya akan memberikan proses yang menyenangkan dalam segala hal.
Kembali kepada diri sendiri, perkara iman saja,
77 cabang iman saja masih belum semuanya saya kuasai. Di sinilah, letak pembelajaran
itu perlu ditingkatkan. Banyak dan masih banyak lagi, perlahan satu persatu
semuanya mesti saya pelajari dan amalkan, bukan semata karena mendidik anak,
namun lebih kepada mendidik diri.
Memperkuat keimanan dengan wujud sabar dan
syukur atas berbagai keadaan, tak semudah mengucapkannya. Perlu perjuangan agar
iman yang terkadang naik turun, harus dipertahankan minimal pada standar
kebaikan, dan akan lebih baik lagi jika mengalami peningkatan. Na’uzdzubillah,
semoga turunnya iman tak membuat kita lantas melemah, namun segera Allah swt
ingatkan kembali sehingga kita tak hilang dari harapan kebaikan dan berkah
dari-Nya.
Ya, semua mesti diperjuangkan, dipertahankan
dan ditingkatkan untuk kebaikan diri. Semoga Allah senantiasa menjaga diri ini
untuk bisa melakukan yang terbaik sebagai hamba-Nya yang sebenarnya dalam
mengemban amanah, melalui anak-anak yang Allah swt titipkan di dunia.
Ya Rabbiii…. Bimbinglah kami…
GK. Parahyangan, 11 Maret 2015
No comments:
Post a Comment