Dialog pagi dengan si sulung, Azzam:
Azzam : “Kok pakai cambuk Bunda? Kan ada Allah?”
Bunda : Hm… Ya, kalau ada cambuk ‘kan yang mau ga sopan jadi takut. Kecuali kalau udah takut sama Allah, jadi cambuknya ga perlu digantung. Memang Azzam ga takut sama cambuk?
(harusnya jawabannya, Kata Rasul supaya keluarga di rumah bisa sopan dan punya adab. Tapi merasa masih belum pas, saya jawab dengan cara lain yang bisa dimengerti).
Azzam : “Engga,” jawabnya sembari menggeleng.
Bunda : “Trus, sama Allah Abang takut ga?”
Azzam : “Takut.”
Bunda : “Nah, kalau gitu, cambuknya kita simpan dulu aja ya, ga usah digantung, karena Allah sayang sama orang yang takut sama Allah. Jadi Allah juga sayang sama Abang.”
Azzam : “Kalau ada yang ga sopan ga usah pake cambuk bunda, pake slang dari besi aja”
Bunda : Tertawa… "kan cambuknya bukan buat dipakai Zam, buat digantung aja. Tapi di rumah kita ga jadi digantung sekarang, karena insyaallah udah takut sama Allah swt kan?"
Azzam : hahaha… ikut tertawa, "iya ya bunda. Kalau gitu boleh buat main?"
(mungkin karena cambuknya warna warni, karena yang dibeli adalah cambuknya kusir kuda yang pake umbul-umbul >_<)
Bunda : Tersenyum lebar, “untuk sekarang cambuknya Bunda simpan dulu aja ya.”
(menyimpan cambuk ke atas lemari, sembari berpikir Azzam takut sama Allah apa sudah di posisi yang tepatkah? Jangan-jangan saya yang belum benar/seimbang mengajarkan tentang cinta dan takut kepada Allah?)
***
Sabtu, 18 Okt, cambuk yang sudah saya pesan sejak Agustus lalu, baru sampai di tangan, karena menunggu pertemuan dengan teman tersebut di acara Akademi Keluarga bulan ini. Bukan semata-mata ikut-ikut teman yang puluhan orang memesan cambuk karena sudah mendapatkan materi dari Ustadz Budi Ashari, tentang Hukuman dalam Islam dan ada sebuah hadist shahih yang disampaikan tentang menggantungkan cambuk. Tapi karena memang mau, saya dan suami sepakat untuk memesannya, walau belum terpikirkan bagaimana cara menggantungkannya. Hehe…
Buktinya sampai hari Minggu kami masih belum menggantungkan cambuk itu sama sekali di rumah. Mengingat belum ada pengantar yang disampaikan kepada anak-anak di rumah. Entah kenapa Minggu malam, saya melihat cambuk itu teronggok di kamar, dan saya masih belum sempat menyampaikan kepada anak-anak karena sudah mengantuk.
Sebetulnya saat mengambil pesanan cambuk tersebut dari teman, teman-teman lain yang sudah membawa cambuk di bulan September ada yang berbagi tentang reaksi anak-anak mereka saat cambuk akan digantungkan di rumah. Ya, mungkin karena terkesan cambuk warna warni dan lucu, ada anak yang malah minta kepada ayahnya agar cambuk itu dimainkan, ada juga yang anaknya sudah agak besar meminta untuk tidak dipajang, karena “ngeri” melihatnya, ada juga yang menangis, karena mungkin seudah pernah melihat cambuk itu dipakai untuk kuda oleh kusir delman. Saat perjalanan pulang dari Depok-Bandung, saya cerita ke suami, dan suami juga menyarankan pakai pengantar dulu, supaya anak-anak tidak kaget.
Ternyata sebelum terjadinya dialog di Senin pagi, suami sudah memperagakan dan melecutkan cambuk tersebut ke lantai. Saya tidak tahu apakah dialog terjadi antara sang ayah dan Azzam saat itu.
Sebenarnya yang jadi fokus saya saat ini bukanlah masalah bagaimana cambuk itu agar digantung di rumah, karena memang ilmu saya mengenai ini masih secuil, dan bahkan berencana akan mencari buku “Menggantungkan Cambuk di Rumah”, agar ilmu dan pengamalannya tidak salah. Namun, yang menjadi renungan bagi saya adalah betapa pentingnya ilmu yang dikuatkan dengan keimanan, sehingga tidak mungkin Allah swt menyampaikan dalam Al-Quran, surat Al-Mujadilah 11:
Hai orang-orang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan otang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam ayat tersebut Allah swt mendahulukan untuk meninggikan derajat orang-orang yang beriman baru dilanjutkan dengan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Ya, di sinilah saya tercenung, walau saya bukan ahli dalam ilmu tafsir, namun saat ini saya paham, kenapa Allah mendahulukan iman seseorang dahulu baru ilmunya, karena orang yang beriman, tidak mungkin tidak akan mengamalkan ilmu yang dia dapatkan. Berbeda dengan orang yang hanya berilmu saja, tanpa iman, bisa jadi dia akan beramal dan tidak beramal. Jadi ingat hadist berikut:
Dari Jundub bin Abdillah Al Bajali radhiallahu anhu berkata:
Dulu kami saat bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam masih berusia remaja, kami belajar Iman sebelum kami belajar Al Quran. Ketika kami belajar Al Quran, maka bertambahlah iman kami.
Dan kalian hari ini belajar Al Quran sebelum Iman
(HR. Ibnu Majah dan Ath Thabrani dalam Mu’jam Kabir dan dishahihkan oleh Al Albani).
Sehingga orang-orang yang menguatkan imannya atau belajar iman terlebih dahulu, akan lebih mudah mengamalkan ilmu yang diperolehnya dari Al-Quran. Karena orang beriman mempunyai pondasi yang kuat atas ilmu yang ia amalkan. Sebab iman ibarat pohon yang kokoh dengan akar-akarnya yang mempunyai banyak cabang dan berdaun serta berbuah dengan baik. Lantas, bagaimana jika kita yang sudah merasa ‘beriman’ masih saja merasakan kurang beramal? Ya, jawabannya pasti karena iman kita kurang atau lemah…
Kembali kepada peran sebagai orangtua, saat mengamalkan ilmu itu dengan iman, pastinya ada rasa nyaman dan senang bagi kita mengamalkannya, saat ada kendala dan iman bertambah, biasanya kita akan merasa lebih kuat dan tegar, serta mendapat solusi atau jawaban atas permasalahan yang dihadapi. Lalu kalau ternyata kita tidak nyaman? Ya, saatnya koreksi lagi iman di dalam. Sekalipun ada faktor-faktor luar yang memotivasi, sehingga semangat membara lagi, tetap saja yang membuat kita tegar dan kuat serta berkesinambungan dalam amalan kebaikan tersebut adalah iman yang kuat.
Wahai diri, bagaimana dengan imanmu sendiri? T_T
Saya memperhatikan diri sendiri dan juga orang lain, benar adanya yang menguatkan dan meninggikan derajat mereka di samping ilmu yang mereka miliki adalah iman mereka yang kuat. Karena ilmu yang tinggi tanpa iman yang kuat, mungkin di dunia ini memang terlihat mempesona, namun semua itu padam saat di akhirat.
Begitu juga generasi terdahulu yang mencapai gemilangnya peradaban, itu karena iman yang kuat dengan ilmu dan amal yang dibuahkan dari kekuatan iman tersebut….
Iman yang bertambah dan berkurang, inilah kunci dari baiknya amal-amal kita dalam sehari-hari. Maka apalagi yang harusnya kita perkuat setelah rasanya banyak ilmu yang didapat dari sana sini, tapi masih belum baik dalam pengamalan? Saatnya kita menambah keimanan kita agar amalan kita lebih berjaya.
Dikaitkan lagi dengan masalah cambuk tadi, ^_^ saya percaya bahwa dengan menggantungkan cambuk di rumah akan mempengaruhi adab anggota keluarga, sehingga saya dan suami sudah menyediakannya di rumah, adapun untuk kuatnya pengamalan saya, maka saya tambahi ilmu saya yang masih minim mengenai ini, agar tidak salah dalam beramal.
Yuk… Upgrade iman dengan ilmu dan amal… ^_^
Bismillah…
G.R. Parahyangan, 7 Mhrm 1437H/20 Okt 2015