Friday, November 27, 2015

Kajian Orangtua Kuttab Al-Fatih Depok

Kajian Orangtua Kuttab Al-Fatih Depok
Ustadz Budi Ashari, Lc.
Bazaar Madinah, 13 Desember 2014

Pola kita dalam mendidik anak-anak harus kita ubah. Peran sekolah hanya sebagian saja dalam pendidikan anak, sisanya dilakukan oleh orangtua. Oleh karena itu, orangtua harus terus belajar untuk meningkatkan perannya dalam mendidik anak.

Iman sebelum Quran adalah tema utama di Kuttab. Bermula dari hadist Jundub bin Abdillah, konsep inilah yang menjadi panduan dalam mendidik generasi. Cara keluar dari kesesatan yang nyata ialah dengan memperhatikan urutan perbaikannya.

Hal yang kita lakukan di Kuttab Al-Fatih saat ini sebenarnya belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan peradaban Islam.

Hasil dari pendidikan yang langsung melompat ke Al-Quran (melewati iman) adalah munculnya penghafal Quran yang buruk keimanannya, akhlaknya, dan keilmuannya.
Tidak semua sahabat Nabi hafal Quran, namun keimanan mereka kokoh dan teraplikasikan dalam kehidupan.

Seringnya, kita lebih mengapresiasi anak yang hafalannya banyak dibandingkan anak yang adab/akhlaknya baik. Perlu pembenahan bagi anak yang hafalannya banyak namun moralnya buruk.

Cobalah mulai memperhatikan keimanan anak-anak, jangan hanya hafalan dan nilai akademiknya saja yang diperhatikan. Keimanan itu misalnya terlihat dari mulai tumbuhnya kecintaan terhadap Nabi dan orang beriman.

Orang tawakal itu ialah yang mampu menyeimbangkan antara Raja' (harapan) dan khauf (ketakutan).
Raja' secara berlebihan berpotensi melanggar rambu syariat. Sedangkan khauf yang berlebihan akan menimbulkan ketakutan dan kelesuan.

Modal utama kita adalah keyakinan. Terutama keyakinan akan janji Allah dan Rasulnya akan kebesaran dan kemuliaan Islam di kemudian hari.

Salah satu contoh dari keimanan: Khansa RA kehilangan 4 orang putranya sekaligus di perang Qadisiyah. Saat dikabari, Khansa hanya tersenyum dan berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan syahidnya mereka."

Iman berbeda dengan karakter, bahkan ia melampaui karakter. Seseorang yang memiliki keimanan akan sangat kokoh dan stabil dalam menghadapi hidupnya.

Bangsa ini sebenarnya berada dalam kebingungan besar, hendak dibawa ke mana generasi ini? Jika pemimpinnya memberikan teladan yang tidak baik, bagaimana dengan generasi di bawahnya?

Waspadailah syariat yang menjadi tren. Syariat itu punya pakem yang jelas, sedangkan tren senantiasa berubah mengikuti zamannya.

Membangun sebuah keyakinan/itikad perlu usaha yang sangat besar. Inilah yang dahulu dilakukan oleh para sahabat, dan kita hendak mengikutinya.

Iman yang sudah memiliki bibit mudah diketahui, yaitu dengan memperhatikan lisannya. Lisan memiliki peran yang sangat besar dalam menghinakan atau memuliakan seseorang. Saat lisan baik, Insya Allah akan diikuti dengan amal perbuatan.

Di akhir, Ustadz Budi mengingatkan kembali jangan sampai kita salah fokus dalam melaksanakan kurikulum Iman sebelum Quran ini. Jangan sampai Al-Qurannya dikejar tapi imannya ketinggalan.

______________________
Ilmu Fikih mengajarkan kita tentang urutan kehidupan. Pembahasan dalam kitab fikih dimulai dari bersuci, hubungan dengan Allah, kemudian hubungan dengan manusia, muamalah, jual beli, lalu nikah, baru setelah itu pembahasan mengenai negara, hudud, sampai jihad.

Diresume oleh : Abdullah Ibnu
Diteruskan oleh :
Abduh al Baihaqi
@indrafathiana
@anisahmegawati
@fetryzulbeatri
@hilmiyatilalifah
@penyanggraeni
(Tulis nama Anda jika meneruskan lagi

Tuesday, November 24, 2015

Memohon Ampun dan Meminta Rahmat


…. Rabbanaa aamannaa faghfirlanaa warhamnaa wa anta khairurraahimiin…
“Sesungguhnya, ada segolongan dari hamba-hamba-Ku berdo`a (di dunia): "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling Baik”. (Al-Mukminun: 109)

Rabbanaa zhalamnaa anfusanaa wa in lam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakuunannaa minal khaasiriin…
"…Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi. (Al-A`raaf: 23)

Rabbighfirlii wa liwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaa nii shaghiira…
Ya Rabbi ampunilah dosaku dan dosa kedua orangtuaku dan sayangilah keduanya sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil.

Ini juga merupakan doa yang sering kita ucapkan. Di doa yang pertama, setelah memberikan pengakuan kepada Allah swt bahwa kita beriman, diikuti dengan memohon ampun dan meminta rahmat Allah swt. Ampunan dan rahmat yang memang hanya Allah yang punya kehendak terhadap kita, apakah akan Allah karuniakan atau tidak.

Ya, meski sudah ada pengakuan keimanan, itu tidak semata urusan kita selesai, tapi ada lanjutan untuk memohon ampunan dan rahmat Allah swt. Karena, saat pengamalan dari ilmu sehingga meningkatkan keimanan, bisa jadi kita sempat lalai atau salah, sehingga kita perlu ampunan dari Allah swt. Diikuti lagi dengan meminta rahmat kepada Allah karena tanpa rahmat Allah kita sungguh bukanlah apa-apa.

Tanpa ampunan dan rahmat Allah swt, kita bukanlah apa-apa, bahkan kita adalah orang-orang yang merugi. Ini sesuai dengan doa yang kedua, ‘wa in lam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakuunannaa minal khaasiriin’ (jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi).

Berlanjut ke doa yang ketiga, yakni memohon ampunan untuk diri dan orang tua, serta meminta rahmat Allah untuk orang tua, -dengan syarat- sebagaimana orangtua menyayangi kita di waktu kecil.

Setelah menjadi orangtua, dan mengajarkan doa tersebut kepada anak, juga setelah membaca beberapa kisah ibu-ibu shalehah yang senantiasa mendoakan anak-anak mereka, sontak membuat saya tercenung. Saat anak mendoakan kita agar dosa kita diampuni dan Allah memberikan rahmat kepada kita, masih untung jika anak-anak kita anak yang shaleh dan yang hanya mengingat kebaikan kita saat mereka mendoakan kita. Namun, jika saat mereka mendoakan kita, yang terkenang dalam hati dan benak anak saat berdoa kepada Allah tentang bagaimana buruknya kasih sayang kita kepada mereka saat mereka kecil. Lantas, bagaimanakah kita akan memperoleh rahmat Allah swt? Dan, ketika rahmat Allah tidak kita dapatkan, betapa meruginya kita…

Belum lagi, ketika juga ternyata kita sebagai orangtua juga jarang, bahkan nyaris tidak ada mendoakan ampunan dan rahmat untuk anak kita. Kalaupun ada, mungkin hanya diselipkan dalam mengucapkan salam kepada anak-anak “Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakaatuhu”. Masih syukur, jika saat mengucapkan salam, kita mengingat bahwa itu merupakan permintaan rahmat dan berkah yang kita mintakan untuk anak. Namun, jika itu hanya sekedar meluncur di lidah… tentunya tidak akan membekas, apalagi akan dikabulkan.

Mulai belajar lagi, bersungguh-sungguh dalam menggunakan lisan dan menggunakan hati saat berbicara atau berdoa, umumnya dalam segala hal, khususnya kepada anak-anak. Mulai belajar mendoakan ampunan dan rahmat Allah swt untuk anak-anak dan bersungguh-sungguh dalam mengucapkannya. Menjauhi doa-doa yang tidak baik dan kata-kata yang sia-sia dalam mendidik anak-anak kita.

Ya Rabb… bimbinglah kami…

G.K. Parahyangan, 25 Nov 2015/13 Shafar 1437






Monday, November 9, 2015

Tentang Buku Pendidikan untuk Anak

"Radhitu billahi rabbaa, wa bil islaami diina, wa bi muhammadin nabiyya wa rasuulaa.”

Ridha terhadap Allah sebagai
Tuhan, Islam sebagai Agama, dan Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul. Dzikir yang senantiasa dilantunkan pagi petang, mudah dalam pelafalan, namun berat konsekuensinya, apalagi ketika berhadapan dengan keadaan yang bertentangan dengan harapan.

Dzikir yang seharusnya memberikan contoh keimanan dan melahirkan dialog iman saat kita berhadapan dengan anak-anak, melahirkan ‘perkataan yang baik’ dan ‘amal shaleh’ dalam kehidupan sehari-hari, yang terurai dalam perbuatan yang jauh dari kesia-siaan setiap saat. Ibadah dalam bentuk mahdhah dan ghairu mahdhah yang senantiasa bermuara kepada karena Allah swt. 

Hm, yang aslinya mau diceritakan adalah tentang buku “Pendidikan Cinta untuk Anak” yang diterbitkan oleh Aqwam, dan ditulis oleh Dr. Amani Ar-Ramadi yang berisi tentang mencintai Allah, Rasul dan Islam. Tiga hal pokok yang harus kita miliki dan ajarkan juga kepada anak-anak, tepatnya sesuai dengan target kalimat dzikir di atas. Ditambah dengan materi Cinta shalat dan hijab. 

Buku ini awalnya direkomendasikan oleh seorang teman di AKU (Akademi Keluarga), terimakasih banyak Mba Ramdhania, ^_^ Jazakillahkhayran katsira. 

Buku ini tidak hanya berisi sebatas teori tapi sampai ke kiat-kiat untuk mencapai tujuan tersebut, yang dijelaskan dengan tahapan-tahapan dari fase pra nikah sampai fase anak baligh. Ditambah lagi ada kisah-kisah pengalaman diberikan di akhir tiap-tiap bab. 

Ya, pendidikan cinta untuk anak, yang pastinya harus berawal dari keteladanan orangtua mereka. Bagaimana kadar cinta kita pada Allah, Rasul saw dan Islam sehingga kita mencukupkan diri dengan Allah swt, dan senantiasa berjalan di atas jalan Islam, serta tidak akan menempuh kecuali dengan syari’at Muhammad saw, dan Muhammad saw sebagai utusan Allah swt.

G.R. Parahyangan, 10 Nov 2015

Monday, November 2, 2015

Belajar dari Doa Rasullah

“Ya Allah, hanya kepada-Mu aku mengadu kelemahan diriku, sedikitnya upayaku serta hinanya diriku di hadapan manusia. Wahai Dzat Yang Paling Pengasih di antara para pengasih… Engkau adalah Rabb orang-orang yang lemah, Engkaulah Rabbku, kepada siapa lagi Engkau menyerahkan diriku? Apakah kepada orang yang jauh tapi bermuka masam terhadapku? Atau kepada musuh yang telah menguasai urusanku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak ambil peduli.
Akan tetapi, ampunan yang Engkau anugerahkan adalah lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan perantaraan cahaya wajah-Mu yang menyinari segenap kegelapan dan yang karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi baik agar Engkau tidak turunkan murka-Mu kepadaku atau kebencian-Mu melanda diriku. Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau menjadi ridha. Tidak ada daya serta kemampuan melainkan pekenan-Mu”

(Doa Rasulullah saat diliputi rasa duka dan sedih terhadap sikap keras yang dialaminya di Thaif)
Adapun hadits Bukhari yang meriwayatkan dimana setelah kejadian tersebut Jibril menemui Rasulullah dan berkata: “Sesungguhnya Allah telah mendengarkan ucapan kaummu kepadamu dan reaksi mereka terhadapmu. Allah telah mengutus kepadamu malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan kepadanya sesuai keinginanmu terhadap mereka.”

Malaikat penjaga gunung tersebut memanggil nabi sembari memberi salam kepada beliau, dan berkata, “ Wahai Muhammad, hal itu terserah padamu; jika engkau menginginkan  aku meratakan mereka dengan Al-Akhsyabain, maka akan aku lakukan.” Nabi menjawab, “Bahkan aku berharap kelak Allah memunculkan dari tulang rusuk mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”

Sosok mulia, Rasulullah saw sungguh-sungguh menggugah, unik, memberikan jawaban yang menggambarkan kepribadian dan akhlak beliau yang agung. Dengan keadaan yang teramat sedih dan berat dengan penolakan kaum Tha’if dengan dakwah beliau, lantas apa yang dilakukan sosok mulia ini?

1.       Bersabar dan tabah dengan ketabahan tiada dua
2.       Mengadu kepada Allah swt tanpa menyalahkan mad’u (yang diajak) tetapi menyebutkan kelemahan diri.
3.       Tidak peduli dengan apapun yang penting Allah meridhai (tidak murka)
4.       Masih tetap memohon ampunan kepada Allah, padahal beliau ma’shum dan dalam hal ini, kesalahan bukan berada pada beliau yang mengajak masyarakat Tha’if untuk menyembah Allah, bahkan kebenaranlah yang disampaikan.
5.       Bahkan, saat beliau diberi kesempatan melalui Malaikat Jibril dan Malaikat penjaga gunung, untuk membalas perlakuan masyarakat Tha’if tersebut, Rasulullah bahkan mendoakan yang paling baik untuk mereka, berharap keturunan mereka menjadi manusia beriman.

Allahumma shalli ‘alaa Muhammad…

Melalui teladan akhlak yang beliau contohkan, dalam mendidik anak, poin-poin ini sangat baik untuk para pendidik khususnya orangtua juga mengikuti sikap-sikap mulia beliau, meski belum bisa semuanya, minimal kita mulai mencicil satu persatu agar menjadi orang tua yang:

1.       Mempunyai stok sabar yang banyak.
2.       Memperbanyak doa kepada Allah swt karena masih kurangnya upaya dan kelemahan diri dalam mendidik.
3.       Selama Allah swt tidak murka maka lakukanlah yang terbaik dari yang kita mampu.
4.       Senantiasa memohon ampun kepada Allah untuk diri kita (selaku orangtua) dalam kesalahan mendidik dan meminta pertolongan Allah agar urusan dunia akhirat kita menjadi baik.
5.       Memaafkan kesalahan anak-anak (yang sejatinya karena mereka masih anak-anak), dan tetap senantiasa mendoakan yang terbaik untuk anak-anak kita agar menjadi hamba yang beriman dan shaleh.

Ya Rabbi… bimbinglah kami untuk bisa mengikuti sunnah-sunnah Nabi-Mu…
Terkenang nasyid jaman kuliah dulu… J
Hatinya suci mulia
Pribadinya agung tak bernoda
Penghuni langit dan bumi cinta kepadanya
Karena ia kekasih Tuhannya
                Musuh pun tak kuasa membencinya
                Jasad mereka menentang, namun hati mereka
Mengakui keagungan pribadinya
Karena akhlaknya begitu indah
Seindah keindahan yang terindah
Cinta kepada umatnya, jangan ditanya
Sedalam perasaan, setinggi lamunan
Secerah bebintang yang bertebaran di alam raya
Tiada berbalas apalagi terbalas
Itulah cintanya
                Ketika perihnya sakaratul maut kau rasa
                Saat itupun engkau masih ungkapkan cinta
Ummatii, Ummatii, Ummatii…
Kau masih teringat akan kami, umatmu
Namun kami selalu melupakanmu
Oh, sungguh mulianya hatinya
Oh, sungguh indahnya cintamu
                Wahai saudaraku, pantaskah kita selalu melupakannya
                Karena tanpanya hidup kita hanyalah kehinaan
                Karena tanpanya hidup kita hanyalah kegelapan
                Karena tanpanya kita takkan pernah mengenal Allah yang Esa.
(Maidany: Cinta Seorang Kekasih).

Allahumma shalli ‘alaa Muhammad…

G.R. Parahyangan, 10 Mhrm 1437/23 Okt 2015

                

Yang Terbaik

Dari Ibnu Abbas ra, menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah ditanya
"Wahai Rasulullah manakah diantara kami kawan-kawan kami yang terbaik”
Beliau menjawab:
1. Seseorang yang dengan melihatnya mengingatkan kalian kepada Allah
2. Dengan perkataannya bertambah amal kebaikan kalian dan
3. Amal-amalnya mengingatkan kalian kepada Akhirat
(HR Abu Ya'la)

Ya, menemukan teman terbaik -yang kita kenal dengan sebutan orang shaleh- dengan 3 ciri tersebut di atas akan membuat kita beruntung, di dunia dan di akhirat. Di dunia akan hidup dengan hati tenang, karena ada yang mengingatkan kita kepada Allah, hanya dengan melihatnya, menambah amal kebaikan kita, hanya karena diskusi dengannya, dan akan mengingatkan kita pada Akhirat, dengan amalan-amalannya. Kelak di akhirat, semoga Allah mengumpulkan kita bersama orang-orang shaleh tersebut, jika kita mengikuti dan membersamai mereka, bahkan jika sampai saling mencintai karena-Nya.Tulisan hari ini bukan penjelasan tentang teman terbaik, tapi lebih kepada kecenderungan saya mengaitkannya dengan keadaan diri.

Kalau teman terbaik adalah 3 ciri tersebut, maka kalau kita ingin jd orangtua terbaik adalah berusaha menjadi:

1.       Orangtua yang saat dilihat anak-anak, menjadikan mereka mengingat Allah,
2.       Orangtua yang saat berkata-kata atau diskusi dengan anak, menjadikan anak bertambah amal kebaikannya
3.       Orangtua yang saat kita beramal, membuat anak-anak menjadi ingat kepada Akhirat.

Hm… Indah sekali, dan terasa mudah memindahkan teorinya, tapi prakteknya menjadi PR besar untuk saya selaku orangtua. Bahkan saat ingin membuat kegiatan dengan anak-anak pun, kita harus mencari kiat mengarahkan anak-anak kepada hal tersebut, bisa dengan berdoa, belajar bersyukur, belajar sabar dalam berkegiatan bersama mereka. Tambahan PR besar selanjutnya, yang sebetulnya PRnya akan terasa lebih mudah jika teladan dari kita sudah sesuai dengan syariat Islam, ditambah dengan meminta pertolongan dari Allah swt.

Begitu juga dengan bacaan-bacaan atau buku yang membuat ingatan kepada Allah menjadi lebih banyak dari sebelumnya, dari diskusi-diskusi dalam kajian atau grup online yang menjadikan amal kebaikan bertambah, dan dari amalan-amalan orang lain yang membuat akhirat mulai menjadi ingatan, tentu ini juga merupakan hal-hal terbaik yang jika sudah didapat sebaiknya langsung ditangkap.

Ya, terkadang iman yang lemah jualah yang membuat diri ini tidak mudah tergerak dengan amalan yang menguatkan keimanan. Sungguh, iman di dalam hati, Allah yang Maha Mengetahui, namun wujud ketaqwaan akan tercermin dalam ucapan dan perbuatan T_T

Kadang saya sempat berpikir, bagaimana bisa hal-hal yang seperti ini mulai menghujam dan tertanamnya di hati baru sekarang, setelah berpuluh-puluh tahun belajar Islam, tapi masih tercari-cari mengenai indahnya Islam, yang sejatinya Islam itu memang indah. Allahummaghfirlii… Yang jawabannya, bisa jadi karena yang saya kuatkan selama ini masih sebatas ilmu dan pengetahuan, tapi belum menambahkan keimanan.

Rabbanaa laa tuzigh quluubanaa ba’da idz hadaitanaa wa hablanaa min ladunka Rahmah, innaka antal Wahhab… (Ya tuhan kami, janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi Karunia).

Allahumma inna nas'aluka 'ilman nafi'an, wa rizqan thayyiban, wa 'amalan mutaqabbalan. (Ya Allah, sungguh kami mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang halal, baik, dan luas, serta amal perbuatan yang diterima)

Rabbanaa zalamnaa anfusanaa wa in lam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakunannaa minal khasiriin. (Ya Tuhan, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi).
Rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah, waqinaa ‘adzaabannaar…


G.R. Parahyangan, 9 Mhrm 1437 H/22 Okt 2015

Doa yang Lalai

“Di dalam hati manusia ada sifat perpecahan, tidak ada yang mampu merekatkannya kecuali dengan menghadap Allah. Di dalam hati juga ada sifat keras, tidak ada yang mampu menghilangkannya kecuali dengan merasa nikmat bertaqarrub kepada Allah. Di dalam hati ada rasa takut dan bingung, tidak ada yang sanggup menghilangkannya kecuali lari menuju Allah.” (Ibnu Qayyim)
Ketika hal-hal yang tidak nyaman mulai menyelimuti hati, saat itu kita -saya- banyak-banyak berdoa kepada Allah swt, yang merupakan salah satu kiat menghadap Allah, bertaqarrub, atau lari menuju Allah, untuk mendapatkan ketenangan dan solusi. Allah berfirman:
Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina. (QS. Al-Mukmin: 60)
Ya, satu hal lain yang saya rasakan mengenai kelalaian saya sebagai orang tua adalah lalainya dalam berdoa. Secara umum, doa untuk diri sendiri dan orangtua, khususnya lagi berdoa untuk anak-anak. Lalainya bukan tidak adanya doa yang dipanjatkan kepada Allah swt, namun lebih kepada lalainya memperhatikan adab sebagai hamba Allah dalam meminta kepada-Nya.
Lalainya dimulai dari terburu-buru dalam berdoa dan tidak menghadirkan hati dalam berdoa. Tanpa disadari, kalau diteliti dengan benar, saya sering terkejar-kejar dalam memanjatkan doa kepada Allah swt, apalagi saat setelah shalat -yang seharusnya merupakan saat tepat untuk berpanjang-panjang dengan doa-, malah sering terlewatkan karena ingin bersegera menyelesaikan urusan dunia. Sehingga hanya berdoa sekenanya saja, sehingga tidak ada kekhusyu’an di dalamnya. Bagaimana Allah akan mengabulkannya?
Banyak doa juga yang dilafalkan, namun seolah mengalir begitu saja tanpa ada rasa tunduk dan harap kepada Allah dengan seharap-harapnya, dikarenakan doa itu tidak menancap ke hati. Kalaupun ada yang menancap, biasanya saat berdoa dalam keadaan sempit dan galau T_T.
Sedangkan di waktu lapang, lupa berdoa, padahal Rasulullah saw menganjurkan kepada kita untuk banyak-banyak bedoa. Bahkan, selayaknya seorang muslim banyak berdoa di setiap waktu, karena doa merupakan ibadah mulia di sisi Allah swt.
Ya Allah…
Alangkah lalainya diri ini dari doa yang sejati
Doa yang benar-benar hanya diniatkan dengan benar
Doa yang diikuti dengan keyakinan bahwa akan dikabulkan
Doa yang diliputi dengan kesungguhan hati dalam meminta
Doa yang bukan hanya dalam lisan atau hafalan
Doa yang bukan hanya ketika terjerat dalam kesulitan
Dan doa yang bukan hanya sekedar ritual
Ya Allah…
Kami tahu betapa banyak doa-doa ma’tsur yang kami ketahui
Tapi tidak menyadarkan kami bahwa dengan doa-doa itu hari-hari kami akan berarti
Kami tahu doa itu senjata bagi kami
Tapi tak selalu kami gunakan untuk senjata kami dalam mendidik anak-anak kami
Kami tahu dengan berdoa, para Nabi menjadi Engkau cintai dan Engkau tempatkan di tempat terpuji
Tapi kami melalaikan untuk senantiasa berdoa dan usaha dengan sesungguh-sungguh hati
Ampuni kami ya Allah…
Yang malu meminta banyak kepada-Mu, padahal tiada tempat lain meminta kecuali dengan-Mu
Yang lalai dalam bermunajat pada-Mu, hingga melupakan keagungan-Mu
Yang lalai dalam berdoa pada-Mu, hingga melewatkan pujian dan syukur kepada-Mu
Yang lalai dalam memohon pada-Mu, tanpa bershalawat dan salam kepada Rasul-Mu yang sepatutnya menjadi teladan sepenuhnya bagi kami untuk mencintai-Mu
Ampuni kami ya Allah...
Yang tidak memiliki adab dalam berdoa dan memohon segala kebaikan-kebaikan itu pada-Mu
Jadi teringat anak-anak yang kita ‘rasa’ sudah memberikan ‘sesuatu’ yang terbaik untuk mereka, tapi lupa mendoakannya dengan doa terbaik kepada Allah swt di setiap waktu. Betapa Rasulullah saw memberikan banyak contoh dalam berbagai keadaan beliau senantiasa membelai kepala anak-anak kecil, menyambut mereka dengan pelukan bahkan saat mencium cucu-cucu beliau selalu mengikutinya dengan doa. Ya, saya tahu, tapi tidak menjadikannya contoh saat mencium, memeluk dan membelai anak-anak dengan diiringi doa-doa. Bahkan ketika terbersit rasa ‘cinta’ kepada anak-anak, tentu akan lebih baik bagi saya ketika tiba-tiba mendaratkan ciuman atau pelukan kepada mereka, saya tambahkan dengan doa-doa kebaikan untuk mereka.
Ya Allah… ampunilah diri yang lupa ini…
Tuntun dan bimbinglah untuk senantiasa mengucapkan doa kebaikan untuk anak-anak kami dimanapun kami berada. Tanpa melupakan doa-doa kebaikan untuk diri dan orangtua kami, serta kaum muslimin semuanya dengan adab yang semestinya… T_T
Aamiin Allahumma aamiin...
G.R. Parahyangan, 8 Mhrm 1437 H/ 21 Okt 2015

Tentang Cambuk dan Iman

Dialog pagi dengan si sulung, Azzam:
Azzam : “Kok pakai cambuk Bunda? Kan ada Allah?”
Bunda : Hm… Ya, kalau ada cambuk ‘kan yang mau ga sopan jadi takut. Kecuali kalau udah takut sama Allah, jadi cambuknya ga perlu digantung. Memang Azzam ga takut sama cambuk?
(harusnya jawabannya, Kata Rasul supaya keluarga di rumah bisa sopan dan punya adab. Tapi merasa masih belum pas, saya jawab dengan cara lain yang bisa dimengerti).
Azzam : “Engga,” jawabnya sembari menggeleng.
Bunda : “Trus, sama Allah Abang takut ga?”
Azzam : “Takut.”
Bunda : “Nah, kalau gitu, cambuknya kita simpan dulu aja ya, ga usah digantung, karena Allah sayang sama orang yang takut sama Allah. Jadi Allah juga sayang sama Abang.”
Azzam : “Kalau ada yang ga sopan ga usah pake cambuk bunda, pake slang dari besi aja”
Bunda : Tertawa… "kan cambuknya bukan buat dipakai Zam, buat digantung aja. Tapi di rumah kita ga jadi digantung sekarang, karena insyaallah udah takut sama Allah swt kan?"
Azzam : hahaha… ikut tertawa, "iya ya bunda. Kalau gitu boleh buat main?"
(mungkin karena cambuknya warna warni, karena yang dibeli adalah cambuknya kusir kuda yang pake umbul-umbul >_<)
Bunda : Tersenyum lebar, “untuk sekarang cambuknya Bunda simpan dulu aja ya.”
(menyimpan cambuk ke atas lemari, sembari berpikir Azzam takut sama Allah apa sudah di posisi yang tepatkah? Jangan-jangan saya yang belum benar/seimbang mengajarkan tentang cinta dan takut kepada Allah?)
***
Sabtu, 18 Okt, cambuk yang sudah saya pesan sejak Agustus lalu, baru sampai di tangan, karena menunggu pertemuan dengan teman tersebut di acara Akademi Keluarga bulan ini. Bukan semata-mata ikut-ikut teman yang puluhan orang memesan cambuk karena sudah mendapatkan materi dari Ustadz Budi Ashari, tentang Hukuman dalam Islam dan ada sebuah hadist shahih yang disampaikan tentang menggantungkan cambuk. Tapi karena memang mau, saya dan suami sepakat untuk memesannya, walau belum terpikirkan bagaimana cara menggantungkannya. Hehe…
Buktinya sampai hari Minggu kami masih belum menggantungkan cambuk itu sama sekali di rumah. Mengingat belum ada pengantar yang disampaikan kepada anak-anak di rumah. Entah kenapa Minggu malam, saya melihat cambuk itu teronggok di kamar, dan saya masih belum sempat menyampaikan kepada anak-anak karena sudah mengantuk.
Sebetulnya saat mengambil pesanan cambuk tersebut dari teman, teman-teman lain yang sudah membawa cambuk di bulan September ada yang berbagi tentang reaksi anak-anak mereka saat cambuk akan digantungkan di rumah. Ya, mungkin karena terkesan cambuk warna warni dan lucu, ada anak yang malah minta kepada ayahnya agar cambuk itu dimainkan, ada juga yang anaknya sudah agak besar meminta untuk tidak dipajang, karena “ngeri” melihatnya, ada juga yang menangis, karena mungkin seudah pernah melihat cambuk itu dipakai untuk kuda oleh kusir delman. Saat perjalanan pulang dari Depok-Bandung, saya cerita ke suami, dan suami juga menyarankan pakai pengantar dulu, supaya anak-anak tidak kaget.
Ternyata sebelum terjadinya dialog di Senin pagi, suami sudah memperagakan dan melecutkan cambuk tersebut ke lantai. Saya tidak tahu apakah dialog terjadi antara sang ayah dan Azzam saat itu.
Sebenarnya yang jadi fokus saya saat ini bukanlah masalah bagaimana cambuk itu agar digantung di rumah, karena memang ilmu saya mengenai ini masih secuil, dan bahkan berencana akan mencari buku “Menggantungkan Cambuk di Rumah”, agar ilmu dan pengamalannya tidak salah. Namun, yang menjadi renungan bagi saya adalah betapa pentingnya ilmu yang dikuatkan dengan keimanan, sehingga tidak mungkin Allah swt menyampaikan dalam Al-Quran, surat Al-Mujadilah 11:
Hai orang-orang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan otang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam ayat tersebut Allah swt mendahulukan untuk meninggikan derajat orang-orang yang beriman baru dilanjutkan dengan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Ya, di sinilah saya tercenung, walau saya bukan ahli dalam ilmu tafsir, namun saat ini saya paham, kenapa Allah mendahulukan iman seseorang dahulu baru ilmunya, karena orang yang beriman, tidak mungkin tidak akan mengamalkan ilmu yang dia dapatkan. Berbeda dengan orang yang hanya berilmu saja, tanpa iman, bisa jadi dia akan beramal dan tidak beramal. Jadi ingat hadist berikut:
Dari Jundub bin Abdillah Al Bajali radhiallahu anhu berkata:
Dulu kami saat bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam masih berusia remaja, kami belajar Iman sebelum kami belajar Al Quran. Ketika kami belajar Al Quran, maka bertambahlah iman kami. Dan kalian hari ini belajar Al Quran sebelum Iman (HR. Ibnu Majah dan Ath Thabrani dalam Mu’jam Kabir dan dishahihkan oleh Al Albani).
Sehingga orang-orang yang menguatkan imannya atau belajar iman terlebih dahulu, akan lebih mudah mengamalkan ilmu yang diperolehnya dari Al-Quran. Karena orang beriman mempunyai pondasi yang kuat atas ilmu yang ia amalkan. Sebab iman ibarat pohon yang kokoh dengan akar-akarnya yang mempunyai banyak cabang dan berdaun serta berbuah dengan baik. Lantas, bagaimana jika kita yang sudah merasa ‘beriman’ masih saja merasakan kurang beramal? Ya, jawabannya pasti karena iman kita kurang atau lemah…
Kembali kepada peran sebagai orangtua, saat mengamalkan ilmu itu dengan iman, pastinya ada rasa nyaman dan senang bagi kita mengamalkannya, saat ada kendala dan iman bertambah, biasanya kita akan merasa lebih kuat dan tegar, serta mendapat solusi atau jawaban atas permasalahan yang dihadapi. Lalu kalau ternyata kita tidak nyaman? Ya, saatnya koreksi lagi iman di dalam. Sekalipun ada faktor-faktor luar yang memotivasi, sehingga semangat membara lagi, tetap saja yang membuat kita tegar dan kuat serta berkesinambungan dalam amalan kebaikan tersebut adalah iman yang kuat.
Wahai diri, bagaimana dengan imanmu sendiri? T_T
Saya memperhatikan diri sendiri dan juga orang lain, benar adanya yang menguatkan dan meninggikan derajat mereka di samping ilmu yang mereka miliki adalah iman mereka yang kuat. Karena ilmu yang tinggi tanpa iman yang kuat, mungkin di dunia ini memang terlihat mempesona, namun semua itu padam saat di akhirat.
Begitu juga generasi terdahulu yang mencapai gemilangnya peradaban, itu karena iman yang kuat dengan ilmu dan amal yang dibuahkan dari kekuatan iman tersebut….
Iman yang bertambah dan berkurang, inilah kunci dari baiknya amal-amal kita dalam sehari-hari. Maka apalagi yang harusnya kita perkuat setelah rasanya banyak ilmu yang didapat dari sana sini, tapi masih belum baik dalam pengamalan? Saatnya kita menambah keimanan kita agar amalan kita lebih berjaya.
Dikaitkan lagi dengan masalah cambuk tadi, ^_^ saya percaya bahwa dengan menggantungkan cambuk di rumah akan mempengaruhi adab anggota keluarga, sehingga saya dan suami sudah menyediakannya di rumah, adapun untuk kuatnya pengamalan saya, maka saya tambahi ilmu saya yang masih minim mengenai ini, agar tidak salah dalam beramal.
Yuk… Upgrade iman dengan ilmu dan amal… ^_^
Bismillah…
G.R. Parahyangan, 7 Mhrm 1437H/20 Okt 2015

Belajar Taqwa

Semenjak pembahasan kalimat “… wattaqullaha wa yu’allimukumullahu, wallaahu bikulli syai-in ‘aliiim” (QS: Al-Baqarah: 282), yang artinya “… dan bertaqwalah kepada Allah swt, niscaya Allah akan mengajarkanmu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”, membuat saya penasaran untuk membuka kembali pembahasan tentang Taqwa.
Penasaran, karena jika saya tidak kembali mengingat, mempelajarinya dan mengamalkannya, bagaimana saya akan memperkenalkannya kepada anak-anak. Walaupun sudah lama tahu mengenai Al-Quran dan ayat-ayat tentang bertaqwa kepada Allah, ternyata yang membuat saya jlebb adalah saat mengikuti materi dari Ustadzah Mulyati (yang lebih senang dikenal dengan Ummu Maryam). Apalagi dikaitkan dengan perintah Taqwa dalam surat Annisa ayat 1, yang artinya:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Beliau menjelaskan bahwa manusia yang awalnya satu (Nabi Adam AS) hingga kemudian diciptakan Hawa (istrinya) dan memiliki keturunan, hingga adanya kita sekarang, kita diperintahkan untuk bertaqwa kepada Allah swt. Seolah jika dimaknai bahwa kalimat tersebut ditujukan kepada diri kita pribadi, Allah memerintahkan kita untuk bertaqwa pada-Nya ketika masih sendiri, dan bertaqwa juga bersama pasangan kita saat sudah bersama dan menjalin silaturrahmi antara kita dan keluarga besar kita.
Ya, pada intinya dalam segala aspek kehidupan, dengan bertaqwa kepada Allah swt, insyaallah semuanya akan menjadi lancar.
Nah, di sinilah letak peliknya, banyaknya pengetahuan tentang taqwa belum berarti kita sudah bertaqwa, karena taqwa lebih terarah kepada amalan yang tidak ada habisnya hingga kita tutup usia. Dalam hal ini saya malah teringat sebuah nasyid yang liriknya:
Sering kita merasa taqwa
Tanpa sadar terjebak rasa
Dengan sengaja mencuri-curi
Diam-diam ingkar hati
Pada Allah mengaku cinta
Walau pada kenyataannya
Pada harta pada dunia
Tunduk seraya menghamba
Belajar dari Ibrahim
Belajar taqwa kepada Allah
Belajar dari Ibrahim
Belajar untuk mencintai Allah
Malu pada bapak para Anbiya’
Patuh dan taat pada Allah semata
Tanpa pernah mengumbar kata
Jalankan perintah tiada banyak bicara (SNADA: Belajar dari Ibrahim)
Jujur, mendengar nasyid ini, saya mengangguk-angguk sekaligus terpikir, bagaimana saya akan mengajarkan taqwa kepada anak-anak, jika kenyataannya anak-anak tak melihat teladan orang yang bertaqwa dari orangtuanya, tepatnya saat ini Bundanya –saya- T_T Astaghfirullah…
Saat membaca komponen taqwa yang terdapat dalam al-Quran di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Al-Baqarah 3-5: Beriman pada yang ghaib, mendirikan shalat, berzakat, beriman pada kitab dan beriman pada hari akhir.
2. Al-Baqarah 177: Bersabar dalam kesempitan dan penderitaan (segala cobaan) dan selalu menepati janji.
3. Ali Imran 133-135: Bersegera memohon ampun pada Allah saat berbuat salah dan mudah meminta maaf, bersedekah dalam keadaan lapang atau sempit, bisa menahan amarah, mudah memaafkan orang lain, senantiasa melakukan kebaikan dan berbuat baik.
4. Al-Qashash 83: Selalu ingat kepada Allah.
5. Al-Anbiya’ 48-49: Selalu berhati-hati dalam setiap tindakan karena takut terhadap azab Allah.
Baru dari beberapa poin di atas, kembali diri ini tertampar, betapa masih jauhnya diri dari taqwa kepada Allah… Lantas meminta-minta dan berdoa agar diberikan anak shaleh yang pastinya beriman dan bertaqwa, tapi contoh belum mereka temukan dalam diri ini.
Khususnya lagi bersabar di saat kesempitan. Bersabar kepada anak-anak di saat hati senang dan lapang, itu sudah biasa saya lakukan, tapi kalau saat hati sempit?
Tambah lagi poin, selalu mengingat Allah swt. Benarkah diri ini selalu mengingat-Nya? Kalau benar pastinya hati kita akan tentram dan tenang menghadapi semua yang dihadapkan kepada kita –tepatnya saya- di rumah, yang kadang menghilangkan senyuman kepada suami dan anak-anak, saat lelah harus sebentar-sebentar beberes beres.
Apalagi jika dilihat dari makna taqwa itu sendiri, dalam Shahih Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa taqwa pada dasarnya menjaga diri dari hal-hal yang dibenci, karena taqwa berasal dari kata al-wiqayah (penjagaan). Suatu ketika Umar bin al-Khattab r.a pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab r.a mengenai taqwa. Lalu Ubay bertanya kepadanya: “Apakah engkau pernah melewati jalan berduri?”, Umar menjawab: “Ya”, Ubay bertanya lagi: “Lalu apa yang engkau lakukan?”, Umar menjawab: “Aku akan berusaha keras dan bersungguh-sungguh untuk menghindarinya.” Lalu Ubay mengatakan: “Itulah Taqwa.”
Ya, ya, itulah ketaqwaan: menjauhi segala hal yang diharamkan dan melakukan berbagai macam ketaatan, dengan berusaha keras dan bersungguh-sungguh.
Ya Allah… Bimbinglah kami, menjadi hamba yang beriman dan bertaqwa yang Engkau tuntun dalam menjaga diri kami dan keluarga kami dari api neraka… Aamiiin Allahumma aamiin.
G.R. Parahyangan 6 Mhr 1437/19 Okt 2015