Sejatinya pada usia 15 tahun ke
atas, kita sudah memiliki anak yang ‘aqil
baligh secara bersamaan, InsyaAllah. Pada masa ini orangtua berperan
sebagai sahabat yang siap mendengarkan. Home Education sebagai orangtua dan
anak nyaris berakhir di usia 14 tahun, karena kita berubah fungsi menjadi
“coach” anak kita menjadi dewasa, dengan delivery
method HE yang jauh berbeda dari sebelumnya.
Di usia ini, kita menjadi coach anak untuk “KAYA” akan amalan, mereka akan mengerjakan project dengan tuntas. Biasanya pada usia ini anak-anak sudah mulai terlihat
bakat uniknya.
“Menjadi dewasa di usia aqil baligh adalah keniscayaan. Allah swt tidak
lalai ketika seseorang dijadikan-nya mampu reproduksi di usia belasan tahun. Pada
ghalibnya seseorang pasti menjumpai masa pemudanya atau masa aqil balighnya.”
Namun, pendidikan yang terjadi sebelum
mereka menginjak usia baligh-lah yang menyebabkan lambannya kedewasaan (‘aqil)
seseorang. Dimana hambatan itu terjadi karena keteladanan orangtua, lingkungan
dan masyarakat, termasuk sistem persekolahan.
Anak-anak yang sudah baligh,
namun belum ‘aqil atau dipaksa belum ‘aqil tentu akan gelisah. Masa transisi
yang panjang dan pengakuan sosial atas kemampuannya untuk menjadi dewasa sangat
menyakitkan dan membuat galau. Hampir kita semua mengalaminya, karena sistem sosial
dan persekolahan kita membuat masa remaja menjadi sangat panjang.
Pada usia 14-16 tahun, jika model
pendidikan anak sejalan dengan fitrah, sejatinya anak-anak kita sudah menjadi
makhluk sosial mandiri, utuh dan mampu menjalankan kewajiban syari’ah yan
setara denga kedua orang tuanya. Pada tahap ini mereka sudah pada posisi
menjadi partner bisnis, partner dakwah, partner dalam segala kerja-kerja jama’ah.
Dalam pendidikan, mereka
menjalani pendidikan andragogy, bukan pedagogi. Andragogi adalah pendidikan
untuk orang dewasa.
Di usia ini, anak kita sudah
bukan anak-anak lagi, karena mereka sudah menjadi ‘aqil baligh, insyaallah. Mereka
sudah menjadi individu yang sama dengan orangtua mereka. Sama-sama memiliki
tanggungjawab sosial dan memikul kewajiban syariah selaku individu aqil baligh.
Di usia ini kita harus bisa menjadi sahabat. Tidak boleh terlalu ikut campur
tangan urusan mereka, karena kita pun juga tidak terlalu suka jika orang lain
ikut campur urusan kita.
Prinsipnya “apa yang kita tidak
suka orang lain memperlakukan suatu hal kepada kita, maka jangan lakukan hal
tersebut pada anak kita yang sudah aqil baligh ini.”
Dari sisi visi dan misi hidup
anak-anak aqil baligh sudah menemukan potensi dirinya dan mampu mengembangkan
potensi diri, potensi alam dan potensi zaman. Potensi alam dan zaman tersebut
disesuaikan dengan lingkungan sekitar saat ini, karena pemimpin lahir sesuai
zamannya dan sesuai orang yang dipimpinnya.
Urusan iman, akhlak, adab dan
bicara sudah tidak dimulai dari awal. Pada masa ini mereka tinggal
mengimplementasikan ke empat hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Karena anak-anak
di usia ini sudah harus mengusung visi peradaban. Anak-anak aqil baligh ini
sudah mulai melatih kemampuan mengadabkan manusia, mengadabkan alam, zaman, dan
memiliki akhlak mulia. Karena misi kehidupan para aqil baligh tidak akan jauh
dari misi hidup Rasulullah saw, yaitu menyempurnakan akhlak manusia.
Adapun peran peradaban mereka
adalah:
1. Sebagai
khalifah fil ardl
2. Mampu
memikul kewajiban secara individu dan sosial
3. Menjadi
muzakki
Di usia aqil baligh ini para
ulama sepakat bahwa apabila kita (orangtua) masih menyediakan segala keperluan
pribadi anak, termasuk kebutuhan dasarnya maka sifat hukumnya bukan wajib lagi,
melainkan sedekah.
Adapun cara orangtua
mendampingi/mengarahkan anak pada masa ini adalah dengan sering mengajak anak
melihat kasus kehidupan di sekitarnya, kemudian mencari problem solving. Contoh:
kemacetan Bandung, challenge: andaikata kamu yang pegang Bandung saat ini, apa
yang akan kamu lakukan? Kemudian break
down dengan langkah kecil yang bisa dia lakukan sekarang. Lama kelamaan
anak akan menjadi project based talent leader.
Untuk mendidik anak agar bisa
mandiri secara finansial agar mencukupi segala keperluan pribadinya di usia
aqil baligh adalah dengan mengikuti jejak Rasulullah saw, yaitu:
1. Usia
12 tahun : Internship/magang usaha dan
dagang
2. Usia
17 tahun : Usaha mandiri sebagai
manager perdagangan regional
3. Usia
25 tahun : Bisnis owner dan menjalin
aliansi dengan investor
4. Usia
37 tahun : Peduli dengan masalah
akhlak, sosial, dan ekonomi masyarakat
5. Usia
40 tahun : Berdakwah meluruskan
tatacara dan moralitas bisnis ummat
6. Usia
53 tahun : Membangun pasar di samping
masjid
7. Usia
63 tahun : Memastikan ummat Islam
tidak merugi di akhirat nanti, karena pola bisnis riba, haram dan tidak
bermoral.
Melatih kemandirian diajarkan
sejak kecil, serta membudayakan ”nyantrik”/magang dimulai dari usia 12 tahun ke
atas. Kemudian ajak anak untuk mengerjakan aktifitas di ranah passion-nya terus
menerus sehingga menjadi produktif. Di titik ini anak sudah dibekali ilmu
ikhtiar dan rezeki. Sehingga di usia 15 tahun ke atas dia memahami bahwa bukan
tugas kita mengkhawatirkan masalah rezeki, melainkan menyiapkan jawaban “darimana”
dan “untuk apa” atas tiap karunia Allah swt. Karena, betapa banyak orang yang
bercita-cita menggenggam dunia, mereka lupa bahwa hakikat rezeki bukanlah yang
tertulis dalam angka, melainkan apa yang dinikmatinya dan yang bermanfaat untuk
orang banyak.
Anak-anak 15 tahun ke atas harus
mulai paham bahwa ikhtiar itu adalah bagian dari ibadah, sedangkan rezeki itu
urusan Allah swt. Ikhtiyar itu laku perbuatan yang harus dilakukan dengan
sungguh-sungguh, sedangkan rezeki itu merupakan ‘kejutan’ dari-Nya.
Jika pola pendidikan yang kita
lakukan sesuai dengan pola mendidiknya Rasulullah saw, maka akan banyak para
calon imam keluarga dan calon ibu baik di muka bumi ini. Sayangnya, saat ini
dikonversi usia 20 tahun ke atas setara dengan usia 14-15 tahun di zaman
Rasulullah. Ada upaya pelambatan usia aqil baligh, sehingga terjadi banyak
penyimpangan perilaku anak muda.
Adapun pendidikan antara
laki-laki dan perempuan dalam hal ini tidak ada bedanya, karena keduanya aqil
baligh di usia yang hampir bersamaan. Kalau anak perempuan justru kalau di usia
aqil baligh sudah bisa menjadi muzakki, maka peluang baginya untuk menjadi ibu professional
akan menjadi sangat besar, karena mesin uangnya sudah berjalan sendiri.
Semakin dini kita persiapkan
pendidikan berbasis potensi dan akhlak kepada anak-anak kita, maka semakin
cepat anak-anak “terpanggil” dalam menunaikan ibadah syar’i termasuk di
antaranya haji dan menikah di usia muda. Karena prinsipnya bukanlah orang yang “mampu”
yang dipanggil oleh Allah swt, melainkan Allah swt “memampukan” orang-orang
yang terpanggil.
Pembahasan Grup HE-bPA,
21 Oktober 2014