Monday, October 20, 2014

Mendidik Anak Aqil Baligh (15 Tahun ke atas)

Sejatinya pada usia 15 tahun ke atas, kita sudah memiliki anak yang ‘aqil baligh secara bersamaan, InsyaAllah. Pada masa ini orangtua berperan sebagai sahabat yang siap mendengarkan. Home Education sebagai orangtua dan anak nyaris berakhir di usia 14 tahun, karena kita berubah fungsi menjadi “coach” anak kita menjadi dewasa, dengan delivery method HE yang jauh berbeda dari sebelumnya.

Di usia ini, kita menjadi coach anak untuk “KAYA” akan amalan, mereka akan mengerjakan project dengan tuntas. Biasanya pada usia ini anak-anak sudah mulai terlihat bakat uniknya.

“Menjadi dewasa di usia aqil baligh adalah keniscayaan. Allah swt tidak lalai ketika seseorang dijadikan-nya mampu reproduksi di usia belasan tahun. Pada ghalibnya seseorang pasti menjumpai masa pemudanya atau masa aqil balighnya.”

Namun, pendidikan yang terjadi sebelum mereka menginjak usia baligh-lah yang menyebabkan lambannya kedewasaan (‘aqil) seseorang. Dimana hambatan itu terjadi karena keteladanan orangtua, lingkungan dan masyarakat, termasuk sistem persekolahan.

Anak-anak yang sudah baligh, namun belum ‘aqil atau dipaksa belum ‘aqil tentu akan gelisah. Masa transisi yang panjang dan pengakuan sosial atas kemampuannya untuk menjadi dewasa sangat menyakitkan dan membuat galau. Hampir kita semua mengalaminya, karena sistem sosial dan persekolahan kita membuat masa remaja menjadi sangat panjang.

Pada usia 14-16 tahun, jika model pendidikan anak sejalan dengan fitrah, sejatinya anak-anak kita sudah menjadi makhluk sosial mandiri, utuh dan mampu menjalankan kewajiban syari’ah yan setara denga kedua orang tuanya. Pada tahap ini mereka sudah pada posisi menjadi partner bisnis, partner dakwah, partner dalam segala kerja-kerja jama’ah.

Dalam pendidikan, mereka menjalani pendidikan andragogy, bukan pedagogi. Andragogi adalah pendidikan untuk orang dewasa.

Di usia ini, anak kita sudah bukan anak-anak lagi, karena mereka sudah menjadi ‘aqil baligh, insyaallah. Mereka sudah menjadi individu yang sama dengan orangtua mereka. Sama-sama memiliki tanggungjawab sosial dan memikul kewajiban syariah selaku individu aqil baligh. Di usia ini kita harus bisa menjadi sahabat. Tidak boleh terlalu ikut campur tangan urusan mereka, karena kita pun juga tidak terlalu suka jika orang lain ikut campur urusan kita.

Prinsipnya “apa yang kita tidak suka orang lain memperlakukan suatu hal kepada kita, maka jangan lakukan hal tersebut pada anak kita yang sudah aqil baligh ini.”

Dari sisi visi dan misi hidup anak-anak aqil baligh sudah menemukan potensi dirinya dan mampu mengembangkan potensi diri, potensi alam dan potensi zaman. Potensi alam dan zaman tersebut disesuaikan dengan lingkungan sekitar saat ini, karena pemimpin lahir sesuai zamannya dan sesuai orang yang dipimpinnya.

Urusan iman, akhlak, adab dan bicara sudah tidak dimulai dari awal. Pada masa ini mereka tinggal mengimplementasikan ke empat hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Karena anak-anak di usia ini sudah harus mengusung visi peradaban. Anak-anak aqil baligh ini sudah mulai melatih kemampuan mengadabkan manusia, mengadabkan alam, zaman, dan memiliki akhlak mulia. Karena misi kehidupan para aqil baligh tidak akan jauh dari misi hidup Rasulullah saw, yaitu menyempurnakan akhlak manusia.

Adapun peran peradaban mereka adalah:

1.       Sebagai khalifah fil ardl
2.       Mampu memikul kewajiban secara individu dan sosial
3.       Menjadi muzakki

Di usia aqil baligh ini para ulama sepakat bahwa apabila kita (orangtua) masih menyediakan segala keperluan pribadi anak, termasuk kebutuhan dasarnya maka sifat hukumnya bukan wajib lagi, melainkan sedekah.

Adapun cara orangtua mendampingi/mengarahkan anak pada masa ini adalah dengan sering mengajak anak melihat kasus kehidupan di sekitarnya, kemudian mencari problem solving. Contoh: kemacetan Bandung, challenge: andaikata kamu yang pegang Bandung saat ini, apa yang akan kamu lakukan? Kemudian break down dengan langkah kecil yang bisa dia lakukan sekarang. Lama kelamaan anak akan menjadi project based talent leader.

Untuk mendidik anak agar bisa mandiri secara finansial agar mencukupi segala keperluan pribadinya di usia aqil baligh adalah dengan mengikuti jejak Rasulullah saw, yaitu:

1.       Usia 12 tahun     : Internship/magang usaha dan dagang
2.       Usia 17 tahun     : Usaha mandiri sebagai manager perdagangan regional
3.       Usia 25 tahun     : Bisnis owner dan menjalin aliansi dengan investor
4.       Usia 37 tahun     : Peduli dengan masalah akhlak, sosial, dan ekonomi masyarakat
5.       Usia 40 tahun     : Berdakwah meluruskan tatacara dan moralitas bisnis ummat
6.       Usia 53 tahun     : Membangun pasar di samping masjid
7.     Usia 63 tahun : Memastikan ummat Islam tidak merugi di akhirat nanti, karena pola bisnis riba, haram dan tidak bermoral.

Melatih kemandirian diajarkan sejak kecil, serta membudayakan ”nyantrik”/magang dimulai dari usia 12 tahun ke atas. Kemudian ajak anak untuk mengerjakan aktifitas di ranah passion-nya terus menerus sehingga menjadi produktif. Di titik ini anak sudah dibekali ilmu ikhtiar dan rezeki. Sehingga di usia 15 tahun ke atas dia memahami bahwa bukan tugas kita mengkhawatirkan masalah rezeki, melainkan menyiapkan jawaban “darimana” dan “untuk apa” atas tiap karunia Allah swt. Karena, betapa banyak orang yang bercita-cita menggenggam dunia, mereka lupa bahwa hakikat rezeki bukanlah yang tertulis dalam angka, melainkan apa yang dinikmatinya dan yang bermanfaat untuk orang banyak.

Anak-anak 15 tahun ke atas harus mulai paham bahwa ikhtiar itu adalah bagian dari ibadah, sedangkan rezeki itu urusan Allah swt. Ikhtiyar itu laku perbuatan yang harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, sedangkan rezeki itu merupakan ‘kejutan’ dari-Nya.

Jika pola pendidikan yang kita lakukan sesuai dengan pola mendidiknya Rasulullah saw, maka akan banyak para calon imam keluarga dan calon ibu baik di muka bumi ini. Sayangnya, saat ini dikonversi usia 20 tahun ke atas setara dengan usia 14-15 tahun di zaman Rasulullah. Ada upaya pelambatan usia aqil baligh, sehingga terjadi banyak penyimpangan perilaku anak muda.

Adapun pendidikan antara laki-laki dan perempuan dalam hal ini tidak ada bedanya, karena keduanya aqil baligh di usia yang hampir bersamaan. Kalau anak perempuan justru kalau di usia aqil baligh sudah bisa menjadi muzakki, maka peluang baginya untuk menjadi ibu professional akan menjadi sangat besar, karena mesin uangnya sudah berjalan sendiri.

Semakin dini kita persiapkan pendidikan berbasis potensi dan akhlak kepada anak-anak kita, maka semakin cepat anak-anak “terpanggil” dalam menunaikan ibadah syar’i termasuk di antaranya haji dan menikah di usia muda. Karena prinsipnya bukanlah orang yang “mampu” yang dipanggil oleh Allah swt, melainkan Allah swt “memampukan” orang-orang yang terpanggil.  

Pembahasan  Grup HE-bPA, 21 Oktober 2014


Sunday, October 19, 2014

Menyiapkan Generasi Aqil Baligh #04

Pre ‘Aqil Baligh 8-14 tahun

Menyiapkan generasi ‘Aqil Baligh di usia 8-14 tahun, kita (orangtua) bertugas memandu anak untuk “KAYA” akan gagasan, setelah sebelumnya (0-7tahun) anak sudah kita KAYA-kan wawasannya. Saat ini anak boleh bergonta ganti ide. Pada fase tujuh tahun kedua anak (8-14 th), orangtua menjadi teman bermain bagi anak, dan anak mulai bisa mempunyai peran dalam keluarga besar dan komunitas.

Di usia 8-14 tahun, merupakan saat untuk menularkan value dan karakter, karena di usia 0-7 tahun anak merupakan saat pembentukan karakter. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa value keluarga dan karakter tidak bisa diajarkan tetapi ditularkan (melalui keteladanan).

Anak usia 8-14 tahun umumnya sudah mulai tidak ego sentris, mulai melihat nilai-nilai sosial dan etika-etika dasar, dalam ajaran Islam, pada usia setahun sebelumnya (7 tahun) anak sudah mulaidiperintahkan shalat.

Rentang usia 8-14 tahun, pendidikan anak terbagi pada 2 tahap:
1.       Usia 8-10 tahun: Mengenal potensi diri, magang/club untuk membuka wawasan sehingga melahirkan gagasan, dan mulai menjalani ibadah syariah.

2.       Usia 10-14 tahun: Belajar bersama Maestro, magang project, menghebatkan potensi diri, kemandirian, kepemimpinan dan sebagainya.

Anak-anak di jenjang usia 8-14 tahun mulai mengenal “MIMPI apa yang akan dia BANGUN”. Ada beberapa tahapan yang ditempuh pada fase ini:

a.       Pandu anak untuk memahami misi hidupnya dengan cara:
1.       Mengajak akan untuk paham “Who am I?”
2.       Mengajak anak untuk memahami alam sekitarnya/lingkungannya (kearifan lokal)
3.       Mengajak anak untuk memahami zaman saat dia dibesarkan dan prediksi zaman saat anak ‘aqil baligh nanti.
4.       Kuatkan aqidah anak akan keberadaan Allah swt.

b.      Pandu anak untuk memahami potensi dan bakatnya. Di bawah ini adalah tahapan yang sudah dipraktekkan oleh Ibu Septi Peni Wulandani dan Pak Dodik Maryanto kepada anak-anak beliau, dengan tahapan sebagai berikut:
1.       Memperbanyak aktifitas anak yang NON-Pelajaran, agar anak cepat memeukan potensi dirinya.
2.       Memasukkan anak ke club Talent sesuai dengan potensi yang ditemukan dan diulang terus menerus.
3.       Ajak anak menuangkan mimpinya dalam VISION BOARD
4.       Memperkenalkan anak kepada beberapa learning model yang berkaitan dengan mimpi anak.
5.       Memandu anak-anak untuk membuat Talent based Individual Project.
6.       Menularkan Leadership dengan benar.

Usia 0-14 tahun, syarat utama pendidikan anak adalah dekat dengan mentor utama yaitu ayah dan ibunya. Karena prinsip anak adalah “DON’T TEACH ME, I LOVE TO LEARN”.

Calon imam keluarga (anak laki-laki) harus dekat dengan imamnya di tumah, agar terinfeksi value yang ditanamkan oleh ayahnya sebagai imam keluarga. Calon imam keluarga juga harus merasakan kasih sayang dan kelembutan ibunya, agar dia mempunyai patron (pattern) mendidik istri dan anak perempuannya.

Demikian juga calon ibu (anak perempuan) harus dekat dengan ibunya agar dia bisa menyerap “energi rahim” (kasihsayang) yang hanya dimiliki seorang ibu. Calon ibu harus melihat ketegasan dan kelembutan ayahnya sebagai imam keluarga, agar terbayang bagaimana kalau dia mendidik calon imamberikutnya, serta paham kualitas “imam keluarga” seperti apa yang akan dia hadirkan untuk anaknya kelak.

Tentu kita masih ingat bahwa HAK anak sebelum dilahirkan adalah memiliki Ayah dan Ibu yang tangguh dan hebat.

Remaja Islami itu identik dengan anak yang masuk usia belasan, beragama Islam, menjalankan kewajiban yang sudah semestinya dilakukan, seperti shalat, menutup aurat, mengaji dan lain-lain, seakan-akan “taken from granted” tidak perlu dipersiapkan dengan sungguh-sungguh. Posisi remaja pada pembagian perkembangan anak menurut psikologi Barat yang berada di tengah-tengah antara anak dan dewasa ini justru membingungkan. Sedangkan dalam Islam, pembagian perkembangan anak jelas berupa Pre Aqil Baligh dan Aqil Baligh.

Secara syari’ah, ketika seorang anak mencapai aqil baligh, maka berlakulah “sinnu taklif” (masa-masa pembebanan syari’ah) bagi anak. Artinya anak kita yang mencapai aqil baligh maka kewajiban syariahnya akan setara dengan kedua orang tuanya. Kesetaraan itu terkait dalam hal shalat, puasa, zakat, haji, jihad, nafkah, dan kewajiban sosial lainnya. Sehingga akibat amal perbuatan yang mereka lakukan sudah kembali kepada diri mereka sendiri, apakah itu pahala (jika beramal baik sesuai syariat) ataukah dosa (jika berbuat hal haram/melanggar syariat).

Adapun aktifitas lainnya yang sudah dipraktekkan oleh keluarga Bu Septi kepada anak-anak usia 8-14 tahun adalah “nyantrik” atau magang kepada ahlinya, baik dalam bidang kehidupan sehari-hari maupun bakat. “Nyantrik” ini sebaiknya dilakukan anak-anak usia 12 tahun ke atas.

Aktifitas Home Education yang bernama “nyantrik” ini adalah kegiatan belajar langsung kepada ahlinya, dengan cara mengikuti aktifitas dan arahan sang ahli sebagai Coach selama berada di rumahnya.

Adapun syarat-syarat utama “nyatrik” adalah:
1.       Anak sudah memegang value keluarga dengan sangat kuat. Sehingga tidak terombang ambing saat melihat value keluarga lain.
2.       Anak sudah mandiri, bisa mengurus keperluannya sendiri.
3.       Anak sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah selain keperluan dirinya, karena nanti akan melakukan pekerjaan rumah ini di rumah “Coach”.
4.       Anak paham apa yang akan dia pelajari, karena datang langsung ke sumber belajar.
5.       Anak sudah belajar iman, akhlak, adab dan bicara.

Jika kelima hal tersebut sudah dipelajari anak, saatnya dia praktek untuk “nyantrik” di beberapa keluarga untuk membangun networking.

Adapun contoh-contoh kegiatan yang dilakukan anak-anak HE/HS yang "nyantrik" di rumah Ibu Septi adalah: Coaching clinic para calon imam, belajar menyiapkan sarapan sendiri, mencuci piring dan gelas setelah digunakan. Duduk di meja makan peradaban, karena di sinilah mengalir banyak ide. Mempersiapkan Project based Talent.

Jika Home Education menjadikan anak kuper, pasti ada yang salah. Karena sosialisasi dalam HE maupun HS itu bersifat vertikal dan tak berbatas waktu, bisa dengan segala umur, bisa kapan saja, dan tidak perlu menunggu hari libur.   

Saturday, October 18, 2014

Menyiapkan Generasi 'Aqil Baligh #03

Cara menyiapkan generasi Pre ‘Aqil Baligh 0-7 tahun (sambungan)

PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) terbaik adalah Rumah. ‘Rumah’ tersebut mempunyai peranan penting bagi anggota yang berada di dalamnya, biasa kita sebut ‘Keluarga’. Keluarga inilah basis terkecil untuk membangun peradaban, dan ‘Rumah’ yang menjadi tempatnya.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa pendidikan anak balita yang pertama adalah Bahasa Ibu. Sehingga tidak salah pepatah Arab yang mengatakan “al-ummu madrasatul uula, idzaa a’dadtaha, a’dadta sya’ban thayyibal a’raaq” yang artinya Ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik.

Ya, bahasa ibu sangat berperan dalam pembentukan generasi ‘aqil baligh di tahap berikutnya. Benar dan baiknya penguatan bahasa ibu dalam rumah, bertujuan agar anak-anak mampu mengekspresikan gagasannya dengan baik. Karena itu, jangan renggut hak mereka bercengkerama dengan bahasa ibu di usia dini, dengan cara memberikan lingkungan yang baik melalui bahasa ibu serta memberikan kualitas dan kuantitas waktu yang maksimal untuk mereka, dengan cara menghadirkan fisik, jiwa dan fikiran kita FULL saat bersama-sama dengan anak. Pada usia ini anak mendapatkan tahapan stimulus melalui keteladanan orang terdekat dengan mereka (orangtua), maka keteladanan baik kitalah yang dibutuhkan untuk menjalani proses belajar bersama anak di usia ini.

Jika suatu waktu mereka melakukan kesalahan, maka berprinsiplah “It’s OK to make mistakes, we learn from our mistakes”. Tak mengapa jika kita membuat kesalahan (karena tak melulu anak yang salah, terkadang kita sebagai orangtua juga pernah), tetapi kita belajar dari kesalahan tersebut. Selanjutnya, saat terjadi kesalahan (masalah), maka berfokuslah kepada solusi, bukan kepada masalah yang terjadi.

Misal saat anak memecahkan benda pecah belah, maka kita tak langsung memarahi anak. Tetapi mulai mengajarkan anak tindakan pertama saat ada yang pecah, seperti mengucapkan “STOP” (meminta anak berhenti di tempat).  Berlanjut mengajarkan anak cara membersihkan pecahan kaca yang benar. Selanjutnya mengambil pelajaran dari hal yang sudah terjadi, bagaimana cara memegang atau meletakkan barang pecah belah dengan baik, agar tidak pecah. Serta berhati-hati saat menggunakan barang pecah belah.

Namun jika suatu waktu mereka melakukan kebaikan atau kesuksesan, maka apresiasikan kebaikan  maupun kesuksesan tersebut, sekecil apapun itu. Hargai usaha mereka, dengan menyebutkan kebaikan mereka secara spesifik dan lanjutkan dengan menggali perasaan sukses mereka. Misal ketika anak membantu temannya, “Waah… Alhamdulillah Kakak baik ya, suka berbagi sama teman, sehingga mau meminjamkan (….), untuk si (….), jadi temannya senang. Bagaimana rasanya bisa membahagiakan teman Kak? Jika anak menjawab senang. Bagus J, karena dengan membahagiakan orang lain, adalah sikap yang disukai Allah swt dan Rasul. Wah, senangnya kalau kita bisa terus berbuat baik dan membahagiakan orang lain ya?

Berlanjut dengan teknis belajar bersama anak dengan 5 W + 1 H:
  1. Jika anak belum bisa berkomunikasi dengan baik, bisa dengan cara kita yang memulai bertanya, bahkan jika anak belum bisa menjawab, maka kita yang menjawabnya. Misal, saat anak akan mandi. “Siapa yang mandi?”, “Adik”. “Kapan adik mandi?”, “Adik mandi pagi-pagi”. “Dimana adik mandi?”, “di kamar mandi”, “Bagaimana caranya mandi?”, “Menyiram dengan air, (bila langsung praktek menyiramkan air ke anak), memakai sabun dan bilas sampai bersih”, Kenapa Adik mandi?”, “Supaya bersih dan sehat”. Ya, Allah swt menyukai kebersihan….bla bla bla…
  2. Jika anak sudah bisa berkomunikasi, ajaklah anak bermain “game bertanya”. Pegang satu benda atau tunjuk 1 benda. Misal, malam hari saat melihat bulan. “Itu apa nak? (sambil menunjuk bulan), “Bulan”. Sekarang coba buat pertanyaan tentang bulan, kita kumpulkan pertanyaan sebanyak-banyaknya dari anak, kita juga bisa ikut serta membuat pertanyaan bersama anak. Game bertanya, tidak memerlukan jawaban dari orangtua, dan anak juga tidak perlu menjawab, karena hanya belajar membuat pertanyaan saja.
  3. Jika semakin lama, anak semakin banyak bertanya, saat anak bertanya tidak melulu kita harus menjawabnya. Bisa kita ajak anak sama-sama mencari jawaban, atau menjanjikan memberikan jawaban karena kita yang tidak tahu jawaban yang benar dan tepat dari anak, atau mengajarkan anak praktek saat ada hal yang ditanyakan, tanpa kita jawab bisa kita ajak anak melakukan eksperimen, sehingga anak sendiri yang akan menjawabnya. Di saat kita benar-benar tidak mengetahui jawabannya, kita perlu mengakuinya kepada anak dan berusaha mencari jawaban bersama dengan belajar bersama atau bertanya kepada ahlinya.
  4.  Saat anak semakin sering bertanya bahkan mengulang-ulangi pertanyaannya, berusahalah untuk melayaninya dengan setulus hati. Melayani anak di sini bukan orangtua menjadi pelayan, tetapi menjadi pemandu atau fasilitator. Atau jika ada kakaknya, cobalah mengikut sertakan sang kakak untuk belajar memberikan jawaban atas pertanyaan si adik.

Selanjutnya mengajarkan hikmah kepada anak. Hikmah membutuhkan kearifan, kita mulai dari alas an keberadaan kita diciptakan Allah swt. Anak-anak mulai mengenal mengapa dia dititipkan kepada kita sebagai orangtuanya. Artinya kita sama-sama menjadi orang pilihan Allah di keluarga ini. Hikmahnya: mari kita bersinergi untuk menjadi “Home Team” yang hebat. Team (Home Team) ini bertugas menemukan potensi anggotanya dan melejitkannya.

Mengapa Allah memberikan rumah, pakaian, kendaraan, makan dsb? Karena ini sebagai bukti Allah sayang kita, maka hikmahnya: mari kita gunakan fasilitas ini menjadi bermanfaat untuk banyak orang. Hikmah ini akan menjadikan kita memiliki dasar yang hakiki dalam melangkah di setiap kehidupan.

Mengenalkan Allah swt kepada anak sejak dini:
  1. Setiap azan, kita ajak anak shalat (bisa dengan digendong, setelah mensucikan si anak terlebih dahulu).
  2. Setiap makan selalu mengatakan bahwa ini rezeki dari Allah swt. Mari kita syukuri dengan cara makan yang baik sehingga bermanfaat bagi tubuh.
  3. Setiap kali anak meminta mainan, mintalah anak untuk berdoa kepada Allah swt. Karena dia yang Maha Memberi. Kemudian, ketika mainan bisa dibeli, sampaikan kepada anak bahwa doanya terkabul, maka bersyukurlah.
  4. Perkenalkan kepada anak, untuk cinta kepada Allah kita perlu ‘ngobrol’ (berdialog) dengan Allah melalui shalat dan doa. Sedangkan untuk tahu apa yang disampaikan Allah kepada kita, maka bacalah Al-Quran (sembari memperdengarkan bacaan/hafalan al-Qur’an kita kepada anak – bagi anak yang belum bisa membaca al-Qur’an), karena Allah swt menjelaskan semua kalam-Nya melalui al-Quran.

Selaras dengan pendidikan anak melalui keteladanan dan bahasa ibu yang baik, anak yang belajar bersama alam juga bisa kita mulai dengan mengajarkan mereka cinta kepada makhluk lain, melalui memelihara binatang atau tumbuhan menyesuaikan dengan tingkatan usia anak. Karena Rasullah saw menggembalakan kambing sampai puncak bukit, usia rentang 3-7tahun. Pada hari ini kegiatan tersebut bisa diganti dengan peermainan outbond, outdoor, dan outing bareng dengan orangtua.

Kegiatan menggembala kambing juga merupakan salah satu cara menularkan leadership kepada anak. Adapun cara menularkan leadership dengan benar adalah dengan cara orangtua harus melakukan proses leadership di rumah, artinya anak harus tertular langsung dari leadership orangtua mereka. Contoh: kalau punya makanan, tawarkan ke saudaranya terlebih dahulu, serta mengajarkan cara berkomunikasi yang benar. Ini akan menjadi modal dasar saat ‘Aqil Baligh. Karena saat ‘aqil baligh nanti anak akan menjadi leader.

A leader is one who knows the way, show the way, goes the way

Hal ini sangat berkaitan erat dengan bahasa ibu dan keteladanan yang didapatkan oleh anak. Maka dalam mendidik anak, kita (orangtua) harus berikhtiar (memilih usaha yang terbaik) dalam mendidik anak, dibarengi do’a (tawakkal) kita kepada Allah swt, agar menjadi orangtua yang mampu mendidik dengan perkataan yang benar. Sebagaimana firman Allah swt, yang artinya:

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisaa`: 9)

Aamiin Allahumma Aamiin…

Mari kita lakukan yang terbaik untuk generasi yang lebih baik… ^_^

19 Oktober 2014

Menyiapkan Generasi Aqil Baligh #02

Cara menyiapkan generasi Pre ‘Aqil Baligh 0-7 tahun


Telah dijelaskan sebelumnya dalam pembahasan “Home Education”, bahwa memulai HE :

1. Menyadari peran kita sebagai penerima/penjaga amanah Allah SWT dengan tujuan utama adalah untuk mencintai Allah SWT melalui penguatan Aqidah (ketauhidan) dan Akhlak (keshalihan dalam amalan) 

2. Membuat list tugas yang “SEMESTINYA” kita lakukan sebagai orang tua, kemudian menjalankannya satu demi satu dengan istiqamah: konsisten (terus menerus), resisten (punya daya tahan/keteguhan) dan persisten (selalu ada kemajuan). Adapun kunci awal dari semua ini adalah mendidik diri kita lebih dahulu sebelum mendidik anak.

3. Memahami konsep “Anak dilahirkan atas fitrah”. 

4. Mempersiapkan diri, kuatkan mental, dan merubah cara mendidik yang lebih baik untuk menerima SK dari yang Maha Memberi Amanah. 

5. Tazkiyatunnafs: pensucian jiwa/membersihkan hati dengan banyak mendekat, memohon ampun, menjaga/berhati-hati dari hal-hal syubhat apalagi haram, yang biasa dikenal dengan wara’ kepada Allah swt dengan harapan keridhaan-Nya dan agar ditambah hidayah sehingga fitrah nurani memancar dalam akhlak dan sikap serta kecerdasan yang tinggi atau peran (tau’iyatul a’laa). Ini merupakan pondasi awal dalam mendidik anak, selanjutnya masalah teknis.


Tujuh tahun pertama (0-7 th): Ajak anak untuk “KAYA” akan wawasan

Pada tahap ini orangtua bertugas memandu anak-anak untuk memperkaya wawasan mereka, dengan cara memperbanyak mengenal ayat-ayat Allah yang tersebar di muka bumi. Sebagaimana kita ketahui bahwa ayat-ayat Allah swt terbagi pada dua bentuk: Ayat Kauniyah (alam semesta dan ciptaan-Nya) juga Ayat Qauliyah (Al-Qur’an).

Untuk anak 0-7 tahun memperkenalkan Ayat-Ayat Kauniyah bisa didahulukan dalam memperkenalkan cinta kepada Allah yang Maha Mencipta kepada mereka, disamping memperkenalkan Ayat Qauliyah melalui bacaan/hafalan kita (orangtua/pendidik). Karena melalui ciptaan Allah swt, bahkan dari kehadiran anak-anak atau dalam diri mereka sendiri, merupakan karunia Allah swt / bukti keberadaan sang Pencipta (Allah swt), begitu juga dengan alam yang ada di sekitar mereka yang merupakan bukti kebesaran dan kecintaan Allah swt kepada kita (manusia).

Kata kuncinya pada masa ini adalah membuat anak “KAYA” wawasan, karena hanya orang kaya yang bisa memilih. Kaya wawasan juga termasuk sekolah, namun yang utama dan terpenting adalah memberikan hal wajib yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dimana keduanya tidak ada perintah langsung dengan kata “sekolah” atau “madrasah”, melainkan dengan IQRA’ dan THALABUL ‘ILMI (Uthlubul ‘ilma…). 

Maka ajaklah anak kaya wawasan untuk melihat berbagai macam bentuk dan cara ‘Iqra dan Thalabul ‘Ilmi. Sekolah merupakan salah satu cara dari ‘Iqra dan Thalabul ‘Ilmi, tetapi bukan satu-satunya.

Memberikan pilihan sekolah kepada anak sebaiknya di usia SD, sedangkan sebelum usia itu sebaiknya kita bermain dan belajar bersama anak.

Tahapan kaya wawasan adalah iman, akhlak, dan adab. Maka sarana mengenalkan ayat-ayat tersebut adalah dalam rangka meningkatkan aqidah anak tentang kecintaannya kepada Allah swt.

Adapun tahap berikutnya adalah mengajarkan adab kepada anak, seperti adab tidur, adab makan minum, adab berdoa, adab bersyukur dan
sebagainya. Selanjutnya mengajarkan cara berbicara yang baik dan jujur, karena Rasulullah itu Shiddiq dan juga Tabligh.


Prinsipnya adalah DON’T TEACH ME, I LOVE TO LEARN. Jangan pernah mengajari, karena mendidik itu bukan mengajar, tetapi belajar. Maka belajarlah bersama anak.

Jadikan anak sebagai subyek pembelajaran, proses belajar disesuaikan dengan anak, bukan anak yang dipaksa menyesuaikan diri dengan semua standar dan metode pendidikan yang ada, karena itu pilihlah metode belajar yang menyenangkan.

Libatkan anak dalam berbagai kegiatan yang kita lakukan (sesuai dengan tingkatan usia anak). 

Kemanapun kita pergi, beraktivitas dengan mereka, pertanyaan yang muncul di benak kita adalah: “Pelajaran apa yang bisa didapatkan anakku hari ini?”


Sehingga kapan saja, dimana saja, dengan siapa saja, anak-anak tetap masuk dalam ranah belajar. 

Ingat kembali 4 hal tujuan pendidikan anak:

1. Intellectual Curiosity (Membangkitkan Rasa Ingin Tahu)
2. Creative Imagination (Imajinasi Kreatif)
3. Art of Discovery and Invention (Seni Menemukan Hal Baru)
4. Noble Attitude (Akhlak Mulia)


Keempat hal tujuan pendidikan pre aqil baligh ini (bisa disingkat menjadi I CAN) harus bermuara pada 4 tahapan yaitu: iman, akhlak, adab dan bicara.

Untuk usia 0-7 tahun perbanyaklah bermain “Membuat game bertanya” dengan anak, sebagaimana tujuan belajar yang pertama yaitu membangkitkan rasa ingin tahu (Intellectual Curiosity) dengan menggunakan 5W 1H (What, Where, Why, When, Who & How)

Misal beberapa waktu lalu, kegiatan di hari raya Idul Adha: bisa mengenalkan kisah keluarga Nabi Ibrahim as. Selanjutnya rasa ingin tahu tentang kambing (kurban) – jawaban diarahkan pada penguatan iman, akhlak, adab dan bicara. Jika anak sudah punya Intellectual Curiosity, maka balas dengan The Power of Question bukan dengan pernyataan, apalagi mematahkan/memadamkan rasa ingin tahu anak. 

Contoh: Saat kita memotong daging kurban untuk dimasak.
Anak: “Bunda, aku mau potong-potong”
Bunda: “Waah… Mau belajar ya… :) mau pakai pisau-pisauan atau guntung-guntingan?”


Setelah anak memilih, beritahu cara yang benar, jika anak ngotot ingin memakai pisau asli, beri anak tantangan, “Kalau kakak/adik sudah pintar pakai alat latihan ini, langsung kita masuk level pekai pisau beneran”. Dan penuhi janji kita, saat anak berhasil melakukannya, kenalkan juga resiko dari benda-benda tajam kepada anak-anak agar anak berhati-hati.

Bersikap tegas dengan cara baik dan benar kepada anak sudah dimulai sejak usia 0-7 tahun. Karena itu masa pembentukan (menggunakan komunikasi produktif kepada anak). Semakin bertambah usia, semakin longgar.

Mengelola hubungan komunikasi antara Ayah Ibu kepada anak, antara marah dan tegas itu berbeda. Marah itu, hati kita ikut sert, sehingga hasilnya tidak baik, suara terdengar keras, wajah terlihat ‘kesal/sangar’, sedangkan ‘tegas’, hati tidak ikut, sehingga yang kita ucapkan dan tindakan yang muncul tetap baik dan benar. Jangan perbanyak emosi, hukum alamnya orang yang emosionalnya tinggi, rasional dan logikanya rendah. Dalam hal ini bahasa ibu (orangtua), adalah sarana anak dan orangtua saling memahami dan membangun bonding. Jika muncul tantangan (masalah) bersama anak, buatlah penyelesaian dengan prinsip I WIN, You WIN. 

Agar kegiatan belajar lebih teratur, kita bisa membuat menu bermain dengan anak menjadi 3: menu pagi, menu siang, dan menu malam (jadwal ini sebagai contoh saja, bisa dirubah menyesuaikan keluarga masing-masing).

Menu Pagi : dari bangun tidur – jam masuk sekolah (jika anak sudah sekolah)
Menu Siang : jam belajar anak-anak di sekolah (jika belum sekolah, kembali kita ingat bahwa anak bisa belajar bersama siapa saja dan dimana saja, tidak harus di sekolah)
Menu Malam : Pulang sekolah – sebelum tidur.


Bersambung…

Tuesday, October 14, 2014

Menyiapkan Generasi Aqil Baligh #01

Pre ‘Aqil Baligh mulai 0-7 tahun

Sebagaimana telah diketahui sebelumnya, proses mendidik adalah proses “inside out”, kita menemani anak-anak untuk mengeluarkan potensi-potensi fitrahnya agar tumbuh paripurna (insan kamil). Diantara fitrah itu adalah fitrah waktu pertumbuhan atau tahap perkembangan. Menyiapkan generasi ‘aqil baligh tentu ada tahapan-tahapannya:

         Untuk pendidikan generasi Aqil Baligh pada tahap balita, referensi yang paling indah adalah kehidupan Rasulullah saw di usia 0-5 tahun. Kebanyakan kita menganggap bahwa pendidikan sama dengan sekolah, sehingga banyak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) berubah bentuk menjadi SAUD (Sekolah Anak Usia Dini). Sehingga kebanyakan orangtua memasukkan anak-anak (balita) mereka ke sekolah atau lembaga untuk persiapan masuk ke tingkat selanjutnya (SD). Tetapi PAUD bukanlah seperti yang dimaksud kebanyakan orang, tetapi menjaga anak-anak balita agar tetap utuh menjadi anak usia dini dengan semua aspek fitrah pada usianya.

        Sebagaimana Rasulullah saw, kita bisa melihat bagaimana Allah swt mempersiapkan pendidikan usia dini Rasulullah saw sebagai seseorang yang paling lembut dan halus tutur katanya. Kefasihan tutur itu adalah “BAHASA IBU” yang diperoleh beliau dengan baik ketika tinggal di kalangan Bani Sa’adah pada rentang usia 0-5 tahun, yang bahasanya masih murni. Bahkan pada masa anak-anak beliau, Rasulullah dikenal dengan gelar al-amin ­(yang dipercaya perkataannya).Bahasa bukan sekedar grammar, dia adalah ekspresi fikiran dan perasaan, gagasan dan curhatan. Bahasa Ibu sangat penting untuk membentuk generasi ‘aqil baligh pada tahap berikutnya.

        Sebagai catatan, banyak pakar pendidikan yang tidak merekomendasikan mengajarkan bahasa asing pada usia balita, bahkan sampai usia 9 tahun. Sekalipun ada juga pendapat yang menolaknya. Karena, banyak kasus dengan terlalu cepat mengajarkan bahasa asing akan menyebabkan mental block, yaitu kegagalan dalam mengekspresikan gagasan. Ini jauh lebih buruk daripada tidak bisa berbahasa asing sama sekali. Anak-anak yang sulit mengekspresikan perasaan maupun gagasan akan memiliki hambatan perkembangan dan rentan depresi. Jadi bahasa ibu adalah bagian penting dalam bahasa balita. Bahasa ibu adalah bahasa native sehari-hari di rumah/keluarga.

Adapun teknik pendidikan anak 0-5 tahun yang kedua adalah melalui Belajar Bersama Alam (BBA): melalui belajar di alam terbuka, meng”alami” langsung fenomena-fenomena di alam dan sekitar. Memperkenalkan ayat-ayat kauniyah Allah swt melalui alam sekitar kepada anak, akan lebih mengena ke dalam diri anak dibandingkan anak ditunjuk-ajari. Sebagaimana kita ketahui juga bahwa Rasulullah saw memiliki fisik yang sehat dan kuat selama belajar di alam.

Rasulullah saw menggembalakan kambing sampai puncak bukit, sekitar usia 3-7 tahun. Pada hari ini kegiatan tersebut bisa diganti dengan permainan outbond dan kegiatan outdoor, outing bareng orangtua. Tidak ada cerita detail tentang berapa usia Rasulullah saw mulai menggembalakan kambing, tetapi yang jelas selama Rasul berada di Bani Sa’adah beliau melakukan itu. Untuk anak-anak kita sekarang aktifitas-aktifitas tersebut disesuaikan dengan usia anak dan dicarikan aktifitas serupa yang melatih sensomotorik dan executive function. Misalnya peternakan kecil dengan tingkatan yang disesuaikan dengan kemampuan anak.

Dengan cara Belajar Bersama Alam, kita bisa mengajak anak tadabbur al-Qur’an sembari memandang keindahan ciptaan Allah, sambil bergerak dan berimajinasi, sehingga akan jauh lebih berkesan dan efektif untuk sensomotorik anak. Dalam hal ini orangtua memandu anak untuk mengenal alam, mengenal dirinya, mengenal tanda-tanda zaman, dalam rangka menguatkan rasa cinta kepada Allah swt.

        Berikutnya yang ketiga adalah Akhlak dan Kearifan Lokal yang sesuai dengan akhlak Islam.

       Adapun yang keempat adalah Aqidah atau ma’rifatullah, untuk hal ini perlu pembahasan khusus untuk penjelasannya.

        Melihat itu semua, sesungguhnya hal-hal yang justru mesti kembali kepada kita selaku orangtua. Kita mesti memperbaiki tutur bahasa, mulai suka dan sering beraktifitas fisik di alam, mempraktekkan akhlak-akhlak dan adab-adab baik di rumah, dan memiliki aqidah yang baik.

        Anak balita pada dasarnya menyukai tutur yang halus, suka bergerak di alam terbuka, suka perbuatan-perbuatan baik dan menyenangkan, serta membutuhkan sosok Tuhan. Sosok Tuhan yang dimaksud di sini adalah kasih sayang dan perlindungan orang tuanya.

Merujuk kepada pendidikan ala Nabi Ibrahim as, “Bapak segala Nabi”, pola pendidikan mengenal alam sudah diterapkan sejak dini kepada putra-putra beliau. Aktifitas fisik di alam itu pada dasarnya bergerak atau berkegiatan untuk memahami ayat-ayat Allah swt. Konsep beliau tentang pendidikan putra putrinya sangat lengkap, meliputi aspek:
1.       Tilawah untuk pencerahan intelektual
2.       Tazkiyah untuk penguatan spiritual
3.       Taklim untuk pengembangan keilmuan
4.       Hikmah sebagai panduan operasional dalam amal kebajikan

Menjelaskan hikmah kepada anak perlu dilakukan. Hikmah ini membutuhkan kearifan. Dapat dimulai dari alasan keberadaan kita diciptakan Allah. Hikmah ini akan menjadikan kita memiliki dasar yang hakiki dalam melangkah di setiap kehidupan.

Pendidikan dengan pola ini membuat Ismail as sangat yakin akan keberadaan Allah swt di usia yang masih kecil, artinya setiap kali mengenal alam, rasul dan para nabi selalu mengaitkannya dengan aqidah.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada usia 0-7 tahun anak masuk dalam tahap KAYA WAWASAN, maka tugas kita orangtua adalah mendampingi anak-anak untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya pengalaman. Memperkenalkan alam kepada anak-anak dimulai dari lingkungan sekitar kita, sehingga sejak dini mereka akan paham dengan lingkungan dimana mereka hidup, sehingga kearifan lokal akan muncul dalam diri anak ketika memasuki aqil baligh. Anak pun tidak tercerabut dari lingkungannya sehinhga mereka menjadi 'aqil dan baligh secara bersamaan.

Pembahasan Grup WA (HE-bPA), 03 Oktober 2014





Sunday, October 12, 2014

Konsep Aqil Baligh dalam Islam

KONSEP AQIL BALIGH

v  Seluruh muara pendidikan anak dalam Islam adalah generasi Aqil Baligh
v  Framework Home Education diantaranya adalah mempersiapkan generasi yang ‘Aqil ketika Baligh, biasanya di usia 14-16 tahun.

Tiada lembaga terbaik di muka bumi untuk mendidik generasi kecuali di keluarga dan di jamaah atau komunitas. Fungsi pernikahan atau berkeluarga adalah mendidik anak dan membangun kepemimpinan/kemandirian berbasis potensi keluarga. Ketika kedua fungsi ini hilang, maka berakhirlah peran dan fungsi keluarga.

Di abad modern ini, kedua misi dan fungsi ini nyaris tercerabut dari rumah. Ini berlaku nyaris di banyak keluarga (rumah).  Umumnya fungsi mendidik anak diserahkan kepada persekolahan, fungsi kepemimpinan/kemandirian/kewirausahaan diserahkan kepada industri di luar rumah. Ketika amanah-amanah ini terlalaikan, maka terjadilah penyimpangan fitrah yang luar biasa dari anggota-anggota keluarga yang akhirnya secara massive menjadi penyimpangan social dan kejiwaan di masyarakat. Diantaranya perceraian sangat mudah terjadi, menurut statistik perceraian di Indonesia terjadi setiap 36menit. Juga diperkirakan di setiap 10 pernikahan, terjadi 1 perceraian. Rumah tak lagi sehangat dahulu.Saat seperti ini membuat orang sibuk bicara tentang “Quality Time”, padahal Quantity juga penting.

Terkait dengan tema “Konsep ‘Aqil Baligh”, hal ini sangat erat kaitannya dengan peran Home Education, karena pendidikan  pada umumnya tidak seiring dengan konsep pendidikan yang melahirkan generasi ‘Aqil Baligh. Jika dilihat kembali ke jaman dahulu, tradisi generasi ‘Aqil Baligh sebenarnya pernah berlangsung sampai era sebelum persekolahan modern masuk ke Indonesia.

Dulu, Indonesia mengenal konsep Surau, Dayah, Rangkang, Meunasah dan lain-lain. Para ulama dahulu menanamkan tradisi kemandirian ketika menjelang ‘Aqil Baligh. Pada umumnya anak-anak usia 8-9 tahun tidur di surau, bahkan malu jika masih tidur di rumah.

Dilihat dari sirah Rasulullah SAW, beliau telah memulai pendidikan generasi ‘Aqil Baligh pada diri beliau sendiri, melalui bimbingan langsung dari Allah SWT. Usia 9 tahun, Rasulullah SAW telah magang berdagang ke Syams bersama pamannya. Kemudian Rasulullah SAW mempraktekkannya kepada sahabah-sahabat muda (yang masih anak-anak ketika Rasulullah SAW sudah menjelang senja).

Sirah mencatat bahwa Rasulullah SAW menikahkan Usamah ra ketika berusia 14 tahun. Kemudian Usamah ra ditunjuk menjadi panglima perang ke Tabuk pada usia 16 tahun. Dalam hal ini sangat tidak mungkin Rasulullah lalai ketika menunjuk seseorang dalam amanah/penugasan penting, melainkan Usamah sudah menjalani pendidikan generasi ‘Aqil Baligh, dengan pendidikan yang disesuaikan dengan potensinya masing-masing. Karenanya model pendidikan seperti ini kemudian menjadi tradisi selama ratusan tahun setelah Rasulullah wafat.

Kita saksikan sepanjang sejarah putra-putra ‘Aqil Baligh Islam bukan hanya mandiri ketika ‘Aqil Baligh, tetapi telah memiliki peran yang menebar rahmat dan manfaat. Imam Syafi’i rahimahullah telah menjadi Mufti (pemberi fatwa) pada usia 14 tahun. Al-Khawarizmi telah menjadi penemu pemikiran-pemikiran matematika sejak usia 10 tahun dan menjadi guru besar di usia 16 tahun.

Lantas bagaimana dengan keadaan pendidikan saat ini? Sebuah jurnal Psikologi tahun 2009 menyebutkan bahwa penyebab penyimpangan perilaku generasi muda adalah karena lambatnya pengakuan sosial pada kedewasaan mereka. Di Amerika, bahkan kecenderungan seseorang dianggap dewasa ketika berusia 26 tahun.

Masyarakat yang menyerahkan anaknya pada persekolahan modern, akan sulit melahirkan generasi ‘Aqil Baligh. Sistem persekolahan yang ada telah mensegregasi anak-anak kita menjadi kelas-kelas sosial yang seolah telah baku. Misalnya disebut dewasa kalau sudah kerja dan menyelesaikan kuliah. Di masyarakat modern, siapa yang mau menerima anak-anak berusia 14-16 tahun dalam sebuah peran di sosial masyarakat? :)

Seorang pakar psikolog Muslim, asal Turki, yang bernama Malik Badri, tahun 1985 pernah datang ke Indonesia. Bukunya yang kita kenal dan banyak diterjemahkan adalah Dilema Psikolog Muslim, mengatakan bahwa penjenjangan toddler, kids, teenager, adult dengan tahapan awal, tengah dan akhir, bukan berasal dari landasan ilmiah. Itu hanya pengamatan psikologi barat terhadap masyarakat mereka, yang kemudian diadopsi menjadi jenjang persekolahan. Beliau menjelaskan bahwa Islam hanya mengenal dua periode kehidupan di dunia, yaitu sebelum ‘Aqil Baligh dan sesudah ‘Aqil Baligh.

Baligh adalah kondisi tercapainya kedewasaan secara biologis. Bagi anak laki-laki dengan tanda sudara membesar, tumbuh jakun, mimpi basah dan sebagainya. Bagi anak perempuan ditandai dengan menstruasi dan sebagainya. Pada umumnya kondisi baligh dicapai dalam rentang usia 13-16 tahun. Secara syariah ketika seorang anak mencapai ‘Aqil Baligh, maka berlakulah sinnu taklif (masa-masa pembebanan syariah) baginya. Sehingga anak tersebut akan mempunyai kesetaraan dengan kedua orang tuanya  dalam hal kewajiban syariah (shalat, puasa, zakat, haji, jihad, nafkah dan kewajiban sosial lainnya). Pada saat yang sama mereka sudah menjadi manusia dewasa yang memikul semua beban kewajiban yang sama dengan orangtua mereka.

Dalam hal ini dijelaskan bahwa pendidikan Islam sejatinya menyiapkan anak-anak Muslim agar mampu menerima kewajiban syariah ketika mereka mencapai ‘Aqil Baligh. Islam tidak mengenal konsep BALIGH belum ‘AQIL, begitu juga ‘AQIL  namun belum BALIGH, alias REMAJA. Istilah remaja atau Adolescene bahkan tidak dikenal di seluruh dunia sampai abad ke 19. Baligh (kedewasaan fisik bilogis) mesti sejalan dengan Aqil (kedewasaan psikologis, sosial, syariah). Kalaupun terjadi masa transisi, boleh saja asal tidak terlalu lama.

Kita bisa saksikan bahwa anak-anak muslim generasi kini, mereka sudah baligh (secara fisik) di usia 13-16 tahun, namun baru benar bisa mandiri (‘aqil) di usia 23-26 tahun. Berbeda dengan generasi muda masa Rasulullah saw dan Sahabat, di usia mereka yang masih belasan tahun sudah mempunyai prestasi gemilang layaknya orang dewasa (usia 23 ke atas) di jaman kita sekarang.

Semua ulama Fiqh sepakat bahwa anak yang sudah ‘Aqil Baligh (terutama pria) maka tidak wajib lagi dinafkahi. Kalaupun masih dinafkahi, itu namanya shadaqah karena statusnya adalah dewasa fakir miskin. Bisa kita bayangkan andai amanah Rasulullah saw tentang pendidikan generasi ‘Aqil Baligh ini dijalankan oleh ummat Islam dengan baik sampai sekarang, niscaya terjadi percepatan peradaban yang luar biasa. Kenakalan dan penyimpangan remaja yang menguras banyak tenaga, fikiran, air mata, nyawa dan bahkan kehormatan tidak akan terjadi. ZERO WASTE GENERATION.

Peradaban Islam dahulu yang sangat bagus menjadikan pemuda belia belasan tahun telah mencapai peran-peran peradabannya di usia ‘Aqil Baligh dengan karya-karya peradaban yang melimpah, bukannya sampah-sampah peradaban.

Apakah Allah swt lalai ketika menjadikan seorang pria mampu bereproduksi maka wajib berproduksi, yaitu memampukan dirinya mengemban amanah syariah dan peran peradabannya?

Sepanjang sejarah manusia dalam peradaban apapun, kita temukan bahwa kedewasaan sosial psikologis (‘Aqil) umumnya dicapai pada saat kedewasaan biologis (Baligh).

Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan terlambatnya ‘aqil seseorang di saat dia sudah baligh?

Lingkunganlah yang menyebabkan kedewasaan itu melambat dan terhalang. Konsep sosial masyarakat kita membuat pembatasan-pembatasan yang tidak berlandaskan fitrah perkembangan manusia.

Mengapa anak-anak remaja susah diatur, melawan, suka pulang malam, menginap di rumah teman, dll, karena sejatinya mereka telah menjadi dewasa. Bukankah orang dewasa tidak suka diatur? Karena orang dewasa itu memang suka mengatur dirinya sendiri. Sebenarnya, tanpa kita lakukan apapun, anak-anak akan menjadi dewasa pada waktunya, itu fitrah Allah. Hanya saja mengapa peran kita sebagai orangtua menjadi begitu penting? Karena banyak yang menghalangi dan menghambat fitrah ini, termasuk tanpa sadar yang menghalanginya adalah kita sendiri.

Diantara HAMBATAN itu adalah keteladanan dan model persekolahan yang dihadapkan kepada anak-anak kita.

  Setelah mengetahui hal ini, sudah seharusnya kita membangun kembali pendidikan yang “semestinya” untuk generasi kita. Hal ini berkaitan erat dengan Home Education yang berawal dari keteladanan baik dari kita selaku orangtua, berlanjut dengan HE secara berjamaah yang inshaallah menjadi lembaga yang mampu mengantarkan anak menjadi ‘Aqil Baligh (di waktu yang tepat) secara bersamaan.


Home Education berbasis Potensi dan Akhlak (HE-bPA) #02

“Menikah dan mendidik anak adalah peristiwa peradaban yang luar biasa baik kebahagiaannya, amanahnya maupun pahalanya” (Harry Santosa)

Home Education berbasis Potensi dan Akhlak

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa:

“Segala sesuatu bermula dari khathr atau lintasan fikiran. Jika lintasan fikiran itu dikembangkan maka akan menjadi gagasan. Jika gagasan itu terus dikembangkan maka akan berlanjut ke hati menjadi keyakinan. Jika keyakinan it uterus dikuatkan maka dia terurai dalam perbuatan. Adapun perbuatan yang terus menerus akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan dalam waktu yang panjang disebut dengan karakter, menyatu dan melekat dalam aktifitas.”

Mendidik anak sejatinya merupakan “karakter” bagi kita (baca:orangtua), merupakan fungsi utama pernikahan. Memperbaiki fikrah dan ruhiyah agar kita bisa menikmati proses mendidik anak dengan ikhlas dan istiqamah (konsisten, persisten dam resisten).

Karena itu, kita tidak perlu ragu lagi untuk menjadikan rumah-rumah kita sebagai dapur yang “berantakan” karena terjadinya proses pendidikan yang seru dan rileks untuk melahirkan menu-menu yang indah, bukan menjadikannya etalase jam yang penuh kekakuan.

Lantas bagaimana dengan ke-tidaksabar-an kita yang terkadang hadir dalam keseharian kita dalam mendidik anak? Tidak sabar merupakan hal yang biasa, namun akan semakin mereda jika kita memandang bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, setiap anak adalah bintang (unik dan istimewa), masing-masing mereka memiliki kekhasan yang sedang ditunggu dunia dalam peran khalifah yang spesifik. Karena tidak ada seorang anakpun yang berdoa agar dilahirkan dalam keadaan nakal, kasar, jahat dan sebagainya.

Umumnya kecemasan, obsesif, banyak menuntut atau banyak memaksa atau sebaliknya, tidak konsisten (dalam arti sesuai fitrah anak, bukan obsesi ortu), tidak pede mendidik dan sebagainya, muncul karen kurangnya tazkiyatunnafs para orangtua sehingga mudah terpengaruh oleh "tuntutan atau perlakuan" yang tidak sesuai atau menciderai fitrah. Ketika orangtua menginginkan anaknya shalih maka ortu harus memahami konsep kesejatian/fitrah anak dan makna keshalihan sesungguhnya. Shalih adalah amal, bukan status.

Dengan Tazkiyatun-nafs (mensucikan fikrah dan jiwa kita) juga bertujuan agar kita mampu melihat jernih fitrah-fitrah baik dan unik dalam diri anak kita. Tazkiyatun-nafs berawal dari mengingat kembali akar aqidah, mengingat kembali kontrak-kontrak Tauhid dengan Allah swt, mengingat kembali misi penciptaan kita di muka bumi. Hal ini juga akan membantu kita menjadi pribadi yang lebih sabar dan istiqamah, inshaAllah.

Mendidik anak akan menjadi lebih seru saat kita melihat anak secara positif terhadap kelebihan-kelebihannya. Kelebihan ini bukan kelebihan yang menurut pandangan kita, namun disesuaikan dengan sifat-sifat bakat anak. Misalnya: anak yang suka beres-beres berbakat menjadi penata, anak yang banyak bicara berbakat menjadi pembicara, anak yang suka menggambar saja berbakat menjadi desainer/pelukis. Hal ini bisa menjadi sifat produktifnya apabila kita kembangkan akan memberi manfaat bagi dunia di kemudian hari. Keadaan ini yang biasa juga dikenal dengan pendidikan berbasis potensi dan akhlak yang sesungguhnya adalah pendidikan berbasis fitrah. Untuk melihat dan menerima fitrah-fitrah baik anak hanya bisa dilakukan oleh fikiran dan jiwa orang tua yang mendekati fitrahnya (melalui tazkiyatun-nafs).

Para orangtua adalah makhluk yang paling tahu tentang sifat bawaan anak mereka, walau kadang susah menggambarkannya. Sifat bawaan ini adalah fitur unik atau personality productive yang akan menjadi peran spesifik khalifah di muka bumi dari anak-anak kita. Inilah panggilan hidup anak kita yang merupakan karunia Allah swt.

Pendidikan anak memang harus diawali dengan pemantapan aqidah dan akhlak. Begitu juga dengan pendidikan berbasis potensi dan akhlak juga berangkat dari pemahaman aqidah yang kiuat bahwa tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Abu Bakar ra berpesan bahwa ada dua hal yang utama untuk diketahui, yaitu mengenal Allah dan mengenal diri.

Tugas mendidik bukanlah menjejalkan hal “outside in”, namum mengeluarjan fitrah-fitrah yang baik “inside out” dari anak-anak kita. Kita hamper-hampir tidak perlu melakukan apapun, kecuali menemani dan mendorong anak-anak kita menjalani fitrahnya itu.

Question and Answer:

Q: Bagaimana kita mengenal bakat anak?
A: Bakat (talent) adalah sifat bawaan, misalnya suka menata, suka mengatur, suka bersaing, suka memimpin, suka merawat, suka memperbaiki, suka mendidik, suka berfikir, suka meramal, suka memasang-masangkan orang, suka menganalisa, suka mencipta, suka melahirkan ide dan lain-lain. Seseorang biasanya memiliki kombinasi dari 5 sampai 7 tema bakat. Bakat ini semakin tua akan semakin menguat. Jika suka bersih-bersih di usia 8 tahun, akan semakin konsisten serta menguat di usia 88 tahun.

Q: Apa yang sebaiknya kita lakukan sebagai orangtua, karena keadaan pendidikan sekarang mulai memburuk?
A: Kita semua perlu berupaya mengembalikan fitrah kita, dunia di luar sana sudah jauh dari fitrah manusia. Pendidikan anak-anak kita umumnya hanya persekolahan yang menjauhi fitrah penciptaannya.

Q: Apakah boleh jika kita membatasi anak melakukan minatnya dengan alasan kalau tidak dibatasi, dia suka melalaikan tugas lainnya?
A: Anak suka computer, mungkin perlu didalami lagi. Apa karena cuma kebiasaan disebabkan melihat sekitarnya atau memang ada sifat produktifitasnya yang teraktualisasi dengan computer, misalnya suka mendesain, menulis, kompetisi (game balap mobil), suka strategi, suka mengumpulkan data, suka mengaitkan peristiwa (sejarah), suka membangun network, suka marketing atau menyebarkan ide, dan sebagainya. Maka kita lakukan terlebih dahulu observasi dengan jernih dan melihat sifat-sifat produktifitasnya pada aktifitas kesehariannya. Secara lebih khusus akan dibahas mengenai cara mengenal potensi unik anak di sesi lainnya.

Q: Apa perbedaan minat dan bakat?
A: Minat, umumnya sealu berangkat dari sifat bawaan atau bakat, walau bisa juga dipicu karena pengaruh lingkungan. Sebaiknya minat dan bakat selaras dan memberi rahmat serta keberkahan.

Sharing Grup WA, 21 September 2014

Saturday, October 11, 2014

Home Education berbasis Potensi dan Akhlaq (HE-bPA) #01

Home Education
Resume Materi Home Education dari Grup WA HE-bPA, dengan pemateri:
Pak Harry Santosa dan Ibu Septi Peni Wulandani

A.      Apa itu Home Education?
1. Merupakan kewajiban bagi tiap orangtua untuk mendidik anak
2. Kemampuan alami dan kewajiban syar’i yang harus dimiliki setiap orangtua
3. Syarat pertamanya adalah “dilarang minder” ketika pilihan anda berbeda dengan yang lain. Karena kita (orangtua) sedang menjalankan “misi hidup” dari Sang Maha Guru.

B.      Kapan Home Education dimulai?
     1. Sebelum Lahir
     - Proses seleksi calon ayah/ibu untuk anak-anak kita
   - Berlanjut ke proses terjadinya anak, di dalam rahim dan dilahirkan

 2. Sesudah Lahir
   - Tujuh tahun pertama (0-7 th), orangtua sebagai pemandu (keluarga kecil)
  - Tujuh tahun kedua (7-14 th), orangtua sebagai teman bermain (keluarga besar dan komunitas)
   - Tujuh tahun ketiga (14-21 th), orangtua sebagai sahabat yang siap mendengarkan (dimana saat ini kita sudah memiliki anak yang ‘aqil baligh secara bersamaan, InsyaAllah). Home Education sebagai orangtua dan anak nyaris berakhir di usia 14 tahun, karena kita berubah fungsi menjadi “coach” anak kita menjadi dewasa, dengan cara HE yang jauh berbeda dari sebelumnya.

C.      Bagaimana memulai Home Education (HE)?

1.   Menyadari peran kita sebagai penerima/penjaga amanah Allah SWT.

2. Membuat list tugas yang “SEMESTINYA” kita lakukan sebagai orang tua, kemudian menjalankannya satu demi satu dengan istiqamah: konsisten (terus menerus), resisten (punya daya tahan/keteguhan) dan persisten (selalu ada kemajuan). 

     Diantara list tugas orangtua tersebut adalah:
-          Menyayangi
-          Melayani (0-7 tahun)
-          Memberi rasa aman dan nyaman
-          Menjaga dari hal-hal yang merusak jiwa dan fisiknya
-          Mendengarkan anak
-          Menjadi teladan bagi anak
-          Bermain
-          Berkomunikasi dengan baik sesuai usia anak.

3.  Memahami konsep “Anak dilahirkan atas fitrah” dengan misi “sebagai khalifah”. Fitrah anak/manusia menurut Harry Santosa (Founder Millenial Learning Center dan profesional konsultan di bidang ICT & Knowledge Management) berupa:

a. Fitrah Kesucian. Inilah yang menjelaskan mengapa tiap manusia mengakui dan memerlukan Tuhan, menyukai kebenaran, keadilan, kesucian, malu terhadap dosa, dan sebagainya. Kecuali jika fitrahnya tertutup atau menyimpang.
b.  Fitrah Belajar. Tak satupun manusia yang tidak menyukai belajar, kecuali salah ajar. Khalifah di muka bumi tentunya seorang pembelajar tangguh sejati.
c.  Fitrah Bakat (Unique). Ini terkait misi penciptaan spesifik atau peran spesifik atau peradaban.
d. Fitrah Perkembangan. Setiap manusia memiliki tahapan perkembangan hidup yang spesifik dan memerlukan pendidikan sesuai tahapan. Misalnya, Allah tidak memerintahkan ajaran shalat sejak dini, tetapi jika mencapai usia 7 tahun dst. Pembiasaan boleh saja, tetapi mesti dengan dorongan karena “penghayatan” aqidah berupa cinta kepada Allah dalam diri anak-anak.

4.    Mempersiapkan diri, kuatkan mental, dan merubah cara mendidik yang lebih baik untuk menerima SK dari yang Maha Memberi Amanah. Tugas mendidik bukan menjejali “outside in”, tetapi “inside out” yaitu dengan menemani anak-anak menggali dan menemukan fitrah-fitrah baik itu sehingga mereka menjadi manusia seutuhnya (insan kamil) tepat ketika mencapai usia aqilbaligh. Satu-satunya lembaga yang tahu betul tentang anak-anak kita, mampu telaten dan penuh cinta hanyalah rumah dimana amanah mendidik itu menjadi peran utama ayah bundanya. Kunci awalnya adalah mendidik diri sendiri terlebih dahulu sebelum kita mendidik anak.

5.  Tazkiyatunnafs: pensucian jiwa/membersihkan hati dengan banyak mendekat, memohon ampun, menjaga/berhati-hati dari hal-hal syubhat apalagi haram, yang biasa dikenal dengan wara’ kepada Allah swt dengan harapan keridhaan-Nya dan agar ditambah hidayah sehingga fitrah nurani memancar dalam akhlak dan sikap serta kecerdasan yang tinggi atau peran (tau’iyatul a’laa). Ini merupakan pondasi awal dalam mendidik anak, selanjutnya masalah teknis.

6.   Tujuan mendidik anak yang pertama dan utama adalah untuk mencintai Allah SWT melalui penguatan Aqidah (ketauhidan) dan Akhlak (keshalihan dalam amalan)

D.      Apa Tantangan bagi orangtua untuk memulai HE?
1. Mengembalikan kepercayaan diri bahwa setiap orangtua (kita) mampu memfasilitasi pertumbuhan anak-anaknya dengan baik karena mereka memiliki sebuah bekal yang tergantikan yaitu cinta dan kasih sayang, ditambahkan kesediaan bekerja keras demi anak-anak yang kita cintai.
2. Meningkatkan keterampilan pengasuhan dengan banyak belajar tentang parenting, berjejaring dan komunitas.
3.  Manajemen keseharian  

E.     Beberapa catatan tentang konsep Belajar 

Aturan Dasar:
Tidak melanggar aturan Allah SWT dan Rasul SAW
Tidak melanggar hukum
Semua BOLEH kecuali yang TIDAK BOLEH

Tujuan Belajar:
Intellectual Curiosity (Membangkitkan Rasa Ingin Tahu)
Creative Imagination (Imajinasi Kreatif)
Art of Discovery and Invention (Seni Menemukan Hal Baru)
Noble Attitude (Akhlak Mulia)

Tahapan belajar anak:

-          Belajar melalui keteladanan
-          Anak membantu orangtua
-          Orangtua membantu anak
-          Kegiatan bersama 
-          Kegiatan mandiri

    Proses Belajar disesuaikan dengan anak, bukan anak yang dipaksa menyesuaikan diri dengan semua standar dan metode pendidikan yang ada, karena itu pilihlah metode belajar yang menyenangkan.

F.       Apa saja yang dilakukan dalam HE?
1. Usia 0-7 tahun ajak anak untuk “KAYA” akan wawasan, dengan cara Iqra’ dan Thalabul ‘Ilmi dengan mengajak anak mengenal ayat-ayat Allah SWT yang tersebar di muka bumi. Tahapan Kaya Wawasan: iman, adab dan akhlak sehingga sarana mengenal ayat-ayat Allah tersebut dalam rangka meningkatkan Aqidah anak tentang kecintaannya kepada Allah SWT. Tugas orangtua mendampingi anak dengan SABAR.
2. Usia 8-14 tahun pandu anak untuk “KAYA” akan gagasan, saat ini anak boleh bergonta ganti ide.
3. Usia 14 tahun ke atas, kita menjadi coach untuk “KAYA” akan amalan, mengerjakan project dengan tuntas. Biasanya di usia ini anak-anak sudah mulai terlihat bakat uniknya.



Margahayu Kencana, 26 September 2014