“Menikah dan mendidik
anak adalah peristiwa peradaban yang luar biasa baik kebahagiaannya, amanahnya
maupun pahalanya” (Harry Santosa)
Home
Education berbasis Potensi dan Akhlak
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
mengatakan bahwa:
“Segala sesuatu bermula dari khathr atau lintasan fikiran. Jika lintasan
fikiran itu dikembangkan maka akan menjadi gagasan. Jika gagasan itu terus dikembangkan
maka akan berlanjut ke hati menjadi keyakinan. Jika keyakinan it uterus dikuatkan
maka dia terurai dalam perbuatan. Adapun perbuatan yang terus menerus akan
menjadi kebiasaan. Kebiasaan dalam waktu yang panjang disebut dengan karakter,
menyatu dan melekat dalam aktifitas.”
Mendidik anak sejatinya merupakan “karakter” bagi kita (baca:orangtua), merupakan fungsi utama
pernikahan. Memperbaiki fikrah dan ruhiyah agar kita bisa menikmati proses
mendidik anak dengan ikhlas dan istiqamah (konsisten, persisten dam resisten).
Karena itu, kita tidak perlu ragu
lagi untuk menjadikan rumah-rumah kita sebagai dapur yang “berantakan” karena
terjadinya proses pendidikan yang seru dan rileks untuk melahirkan menu-menu
yang indah, bukan menjadikannya etalase jam yang penuh kekakuan.
Lantas bagaimana dengan
ke-tidaksabar-an kita yang terkadang hadir dalam keseharian kita dalam mendidik
anak? Tidak sabar merupakan hal yang biasa, namun akan semakin mereda jika kita
memandang bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, setiap anak adalah
bintang (unik dan istimewa), masing-masing mereka memiliki kekhasan yang sedang
ditunggu dunia dalam peran khalifah yang spesifik. Karena tidak ada seorang
anakpun yang berdoa agar dilahirkan dalam keadaan nakal, kasar, jahat dan
sebagainya.
Umumnya kecemasan, obsesif, banyak menuntut atau
banyak memaksa atau sebaliknya, tidak konsisten (dalam arti sesuai fitrah anak,
bukan obsesi ortu), tidak pede mendidik dan sebagainya, muncul karen kurangnya tazkiyatunnafs para orangtua sehingga
mudah terpengaruh oleh "tuntutan atau perlakuan" yang tidak sesuai
atau menciderai fitrah. Ketika orangtua menginginkan anaknya shalih maka ortu
harus memahami konsep kesejatian/fitrah anak dan makna keshalihan sesungguhnya.
Shalih adalah amal, bukan status.
Dengan Tazkiyatun-nafs (mensucikan fikrah
dan jiwa kita) juga bertujuan agar kita mampu melihat jernih fitrah-fitrah baik dan unik dalam diri
anak kita. Tazkiyatun-nafs berawal
dari mengingat kembali akar aqidah, mengingat kembali kontrak-kontrak Tauhid dengan Allah swt, mengingat
kembali misi penciptaan kita di muka bumi. Hal ini juga akan membantu kita
menjadi pribadi yang lebih sabar dan istiqamah, inshaAllah.
Mendidik anak akan menjadi lebih
seru saat kita melihat anak secara positif terhadap kelebihan-kelebihannya. Kelebihan
ini bukan kelebihan yang menurut pandangan kita, namun disesuaikan dengan
sifat-sifat bakat anak. Misalnya: anak yang suka beres-beres berbakat menjadi
penata, anak yang banyak bicara berbakat menjadi pembicara, anak yang suka
menggambar saja berbakat menjadi desainer/pelukis. Hal ini bisa menjadi sifat
produktifnya apabila kita kembangkan akan memberi manfaat bagi dunia di
kemudian hari. Keadaan ini yang biasa juga dikenal dengan pendidikan berbasis
potensi dan akhlak yang sesungguhnya adalah pendidikan berbasis fitrah. Untuk melihat
dan menerima fitrah-fitrah baik anak hanya bisa dilakukan oleh fikiran dan jiwa
orang tua yang mendekati fitrahnya (melalui tazkiyatun-nafs).
Para orangtua adalah makhluk yang
paling tahu tentang sifat bawaan anak mereka, walau kadang susah
menggambarkannya. Sifat bawaan ini adalah fitur unik atau personality productive yang akan menjadi peran spesifik khalifah di
muka bumi dari anak-anak kita. Inilah panggilan hidup anak kita yang merupakan
karunia Allah swt.
Pendidikan anak memang harus
diawali dengan pemantapan aqidah dan akhlak. Begitu juga dengan pendidikan
berbasis potensi dan akhlak juga berangkat dari pemahaman aqidah yang kiuat
bahwa tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Abu Bakar ra berpesan bahwa
ada dua hal yang utama untuk diketahui, yaitu mengenal Allah dan mengenal diri.
Tugas mendidik bukanlah
menjejalkan hal “outside in”, namum
mengeluarjan fitrah-fitrah yang baik “inside
out” dari anak-anak kita. Kita hamper-hampir tidak perlu melakukan apapun,
kecuali menemani dan mendorong anak-anak kita menjalani fitrahnya itu.
Question and Answer:
Q: Bagaimana kita mengenal bakat
anak?
A: Bakat (talent) adalah sifat
bawaan, misalnya suka menata, suka mengatur, suka bersaing, suka memimpin, suka
merawat, suka memperbaiki, suka mendidik, suka berfikir, suka meramal, suka
memasang-masangkan orang, suka menganalisa, suka mencipta, suka melahirkan ide
dan lain-lain. Seseorang biasanya memiliki kombinasi dari 5 sampai 7 tema
bakat. Bakat ini semakin tua akan semakin menguat. Jika suka bersih-bersih di
usia 8 tahun, akan semakin konsisten serta menguat di usia 88 tahun.
Q: Apa yang sebaiknya kita
lakukan sebagai orangtua, karena keadaan pendidikan sekarang mulai memburuk?
A: Kita semua perlu berupaya
mengembalikan fitrah kita, dunia di luar sana sudah jauh dari fitrah manusia. Pendidikan
anak-anak kita umumnya hanya persekolahan yang menjauhi fitrah penciptaannya.
Q: Apakah boleh jika kita
membatasi anak melakukan minatnya dengan alasan kalau tidak dibatasi, dia suka
melalaikan tugas lainnya?
A: Anak suka computer, mungkin
perlu didalami lagi. Apa karena cuma kebiasaan disebabkan melihat sekitarnya
atau memang ada sifat produktifitasnya yang teraktualisasi dengan computer,
misalnya suka mendesain, menulis, kompetisi (game balap mobil), suka strategi, suka mengumpulkan data, suka
mengaitkan peristiwa (sejarah), suka membangun network, suka marketing atau menyebarkan ide, dan sebagainya. Maka kita
lakukan terlebih dahulu observasi dengan jernih dan melihat sifat-sifat
produktifitasnya pada aktifitas kesehariannya. Secara lebih khusus akan dibahas
mengenai cara mengenal potensi unik anak di sesi lainnya.
Q: Apa perbedaan minat dan bakat?
A: Minat, umumnya sealu berangkat
dari sifat bawaan atau bakat, walau bisa juga dipicu karena pengaruh
lingkungan. Sebaiknya minat dan bakat selaras dan memberi rahmat serta
keberkahan.
Sharing Grup WA, 21
September 2014
No comments:
Post a Comment