Sunday, October 12, 2014

Konsep Aqil Baligh dalam Islam

KONSEP AQIL BALIGH

v  Seluruh muara pendidikan anak dalam Islam adalah generasi Aqil Baligh
v  Framework Home Education diantaranya adalah mempersiapkan generasi yang ‘Aqil ketika Baligh, biasanya di usia 14-16 tahun.

Tiada lembaga terbaik di muka bumi untuk mendidik generasi kecuali di keluarga dan di jamaah atau komunitas. Fungsi pernikahan atau berkeluarga adalah mendidik anak dan membangun kepemimpinan/kemandirian berbasis potensi keluarga. Ketika kedua fungsi ini hilang, maka berakhirlah peran dan fungsi keluarga.

Di abad modern ini, kedua misi dan fungsi ini nyaris tercerabut dari rumah. Ini berlaku nyaris di banyak keluarga (rumah).  Umumnya fungsi mendidik anak diserahkan kepada persekolahan, fungsi kepemimpinan/kemandirian/kewirausahaan diserahkan kepada industri di luar rumah. Ketika amanah-amanah ini terlalaikan, maka terjadilah penyimpangan fitrah yang luar biasa dari anggota-anggota keluarga yang akhirnya secara massive menjadi penyimpangan social dan kejiwaan di masyarakat. Diantaranya perceraian sangat mudah terjadi, menurut statistik perceraian di Indonesia terjadi setiap 36menit. Juga diperkirakan di setiap 10 pernikahan, terjadi 1 perceraian. Rumah tak lagi sehangat dahulu.Saat seperti ini membuat orang sibuk bicara tentang “Quality Time”, padahal Quantity juga penting.

Terkait dengan tema “Konsep ‘Aqil Baligh”, hal ini sangat erat kaitannya dengan peran Home Education, karena pendidikan  pada umumnya tidak seiring dengan konsep pendidikan yang melahirkan generasi ‘Aqil Baligh. Jika dilihat kembali ke jaman dahulu, tradisi generasi ‘Aqil Baligh sebenarnya pernah berlangsung sampai era sebelum persekolahan modern masuk ke Indonesia.

Dulu, Indonesia mengenal konsep Surau, Dayah, Rangkang, Meunasah dan lain-lain. Para ulama dahulu menanamkan tradisi kemandirian ketika menjelang ‘Aqil Baligh. Pada umumnya anak-anak usia 8-9 tahun tidur di surau, bahkan malu jika masih tidur di rumah.

Dilihat dari sirah Rasulullah SAW, beliau telah memulai pendidikan generasi ‘Aqil Baligh pada diri beliau sendiri, melalui bimbingan langsung dari Allah SWT. Usia 9 tahun, Rasulullah SAW telah magang berdagang ke Syams bersama pamannya. Kemudian Rasulullah SAW mempraktekkannya kepada sahabah-sahabat muda (yang masih anak-anak ketika Rasulullah SAW sudah menjelang senja).

Sirah mencatat bahwa Rasulullah SAW menikahkan Usamah ra ketika berusia 14 tahun. Kemudian Usamah ra ditunjuk menjadi panglima perang ke Tabuk pada usia 16 tahun. Dalam hal ini sangat tidak mungkin Rasulullah lalai ketika menunjuk seseorang dalam amanah/penugasan penting, melainkan Usamah sudah menjalani pendidikan generasi ‘Aqil Baligh, dengan pendidikan yang disesuaikan dengan potensinya masing-masing. Karenanya model pendidikan seperti ini kemudian menjadi tradisi selama ratusan tahun setelah Rasulullah wafat.

Kita saksikan sepanjang sejarah putra-putra ‘Aqil Baligh Islam bukan hanya mandiri ketika ‘Aqil Baligh, tetapi telah memiliki peran yang menebar rahmat dan manfaat. Imam Syafi’i rahimahullah telah menjadi Mufti (pemberi fatwa) pada usia 14 tahun. Al-Khawarizmi telah menjadi penemu pemikiran-pemikiran matematika sejak usia 10 tahun dan menjadi guru besar di usia 16 tahun.

Lantas bagaimana dengan keadaan pendidikan saat ini? Sebuah jurnal Psikologi tahun 2009 menyebutkan bahwa penyebab penyimpangan perilaku generasi muda adalah karena lambatnya pengakuan sosial pada kedewasaan mereka. Di Amerika, bahkan kecenderungan seseorang dianggap dewasa ketika berusia 26 tahun.

Masyarakat yang menyerahkan anaknya pada persekolahan modern, akan sulit melahirkan generasi ‘Aqil Baligh. Sistem persekolahan yang ada telah mensegregasi anak-anak kita menjadi kelas-kelas sosial yang seolah telah baku. Misalnya disebut dewasa kalau sudah kerja dan menyelesaikan kuliah. Di masyarakat modern, siapa yang mau menerima anak-anak berusia 14-16 tahun dalam sebuah peran di sosial masyarakat? :)

Seorang pakar psikolog Muslim, asal Turki, yang bernama Malik Badri, tahun 1985 pernah datang ke Indonesia. Bukunya yang kita kenal dan banyak diterjemahkan adalah Dilema Psikolog Muslim, mengatakan bahwa penjenjangan toddler, kids, teenager, adult dengan tahapan awal, tengah dan akhir, bukan berasal dari landasan ilmiah. Itu hanya pengamatan psikologi barat terhadap masyarakat mereka, yang kemudian diadopsi menjadi jenjang persekolahan. Beliau menjelaskan bahwa Islam hanya mengenal dua periode kehidupan di dunia, yaitu sebelum ‘Aqil Baligh dan sesudah ‘Aqil Baligh.

Baligh adalah kondisi tercapainya kedewasaan secara biologis. Bagi anak laki-laki dengan tanda sudara membesar, tumbuh jakun, mimpi basah dan sebagainya. Bagi anak perempuan ditandai dengan menstruasi dan sebagainya. Pada umumnya kondisi baligh dicapai dalam rentang usia 13-16 tahun. Secara syariah ketika seorang anak mencapai ‘Aqil Baligh, maka berlakulah sinnu taklif (masa-masa pembebanan syariah) baginya. Sehingga anak tersebut akan mempunyai kesetaraan dengan kedua orang tuanya  dalam hal kewajiban syariah (shalat, puasa, zakat, haji, jihad, nafkah dan kewajiban sosial lainnya). Pada saat yang sama mereka sudah menjadi manusia dewasa yang memikul semua beban kewajiban yang sama dengan orangtua mereka.

Dalam hal ini dijelaskan bahwa pendidikan Islam sejatinya menyiapkan anak-anak Muslim agar mampu menerima kewajiban syariah ketika mereka mencapai ‘Aqil Baligh. Islam tidak mengenal konsep BALIGH belum ‘AQIL, begitu juga ‘AQIL  namun belum BALIGH, alias REMAJA. Istilah remaja atau Adolescene bahkan tidak dikenal di seluruh dunia sampai abad ke 19. Baligh (kedewasaan fisik bilogis) mesti sejalan dengan Aqil (kedewasaan psikologis, sosial, syariah). Kalaupun terjadi masa transisi, boleh saja asal tidak terlalu lama.

Kita bisa saksikan bahwa anak-anak muslim generasi kini, mereka sudah baligh (secara fisik) di usia 13-16 tahun, namun baru benar bisa mandiri (‘aqil) di usia 23-26 tahun. Berbeda dengan generasi muda masa Rasulullah saw dan Sahabat, di usia mereka yang masih belasan tahun sudah mempunyai prestasi gemilang layaknya orang dewasa (usia 23 ke atas) di jaman kita sekarang.

Semua ulama Fiqh sepakat bahwa anak yang sudah ‘Aqil Baligh (terutama pria) maka tidak wajib lagi dinafkahi. Kalaupun masih dinafkahi, itu namanya shadaqah karena statusnya adalah dewasa fakir miskin. Bisa kita bayangkan andai amanah Rasulullah saw tentang pendidikan generasi ‘Aqil Baligh ini dijalankan oleh ummat Islam dengan baik sampai sekarang, niscaya terjadi percepatan peradaban yang luar biasa. Kenakalan dan penyimpangan remaja yang menguras banyak tenaga, fikiran, air mata, nyawa dan bahkan kehormatan tidak akan terjadi. ZERO WASTE GENERATION.

Peradaban Islam dahulu yang sangat bagus menjadikan pemuda belia belasan tahun telah mencapai peran-peran peradabannya di usia ‘Aqil Baligh dengan karya-karya peradaban yang melimpah, bukannya sampah-sampah peradaban.

Apakah Allah swt lalai ketika menjadikan seorang pria mampu bereproduksi maka wajib berproduksi, yaitu memampukan dirinya mengemban amanah syariah dan peran peradabannya?

Sepanjang sejarah manusia dalam peradaban apapun, kita temukan bahwa kedewasaan sosial psikologis (‘Aqil) umumnya dicapai pada saat kedewasaan biologis (Baligh).

Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan terlambatnya ‘aqil seseorang di saat dia sudah baligh?

Lingkunganlah yang menyebabkan kedewasaan itu melambat dan terhalang. Konsep sosial masyarakat kita membuat pembatasan-pembatasan yang tidak berlandaskan fitrah perkembangan manusia.

Mengapa anak-anak remaja susah diatur, melawan, suka pulang malam, menginap di rumah teman, dll, karena sejatinya mereka telah menjadi dewasa. Bukankah orang dewasa tidak suka diatur? Karena orang dewasa itu memang suka mengatur dirinya sendiri. Sebenarnya, tanpa kita lakukan apapun, anak-anak akan menjadi dewasa pada waktunya, itu fitrah Allah. Hanya saja mengapa peran kita sebagai orangtua menjadi begitu penting? Karena banyak yang menghalangi dan menghambat fitrah ini, termasuk tanpa sadar yang menghalanginya adalah kita sendiri.

Diantara HAMBATAN itu adalah keteladanan dan model persekolahan yang dihadapkan kepada anak-anak kita.

  Setelah mengetahui hal ini, sudah seharusnya kita membangun kembali pendidikan yang “semestinya” untuk generasi kita. Hal ini berkaitan erat dengan Home Education yang berawal dari keteladanan baik dari kita selaku orangtua, berlanjut dengan HE secara berjamaah yang inshaallah menjadi lembaga yang mampu mengantarkan anak menjadi ‘Aqil Baligh (di waktu yang tepat) secara bersamaan.


No comments: