KONSEP
AQIL BALIGH
v Seluruh
muara pendidikan anak dalam Islam adalah generasi Aqil Baligh
v Framework
Home Education diantaranya adalah mempersiapkan generasi yang ‘Aqil ketika
Baligh, biasanya di usia 14-16 tahun.
Tiada lembaga
terbaik di muka bumi untuk mendidik generasi kecuali di keluarga dan di jamaah
atau komunitas. Fungsi pernikahan atau berkeluarga adalah mendidik anak dan
membangun kepemimpinan/kemandirian berbasis potensi keluarga. Ketika kedua
fungsi ini hilang, maka berakhirlah peran dan fungsi keluarga.
Di abad modern
ini, kedua misi dan fungsi ini nyaris tercerabut dari rumah. Ini berlaku nyaris
di banyak keluarga (rumah). Umumnya
fungsi mendidik anak diserahkan kepada persekolahan, fungsi
kepemimpinan/kemandirian/kewirausahaan diserahkan kepada industri di luar
rumah. Ketika amanah-amanah ini terlalaikan, maka terjadilah penyimpangan
fitrah yang luar biasa dari anggota-anggota keluarga yang akhirnya secara
massive menjadi penyimpangan social dan kejiwaan di masyarakat. Diantaranya
perceraian sangat mudah terjadi, menurut statistik perceraian di Indonesia
terjadi setiap 36menit. Juga diperkirakan di setiap 10 pernikahan, terjadi 1
perceraian. Rumah tak lagi sehangat dahulu.Saat seperti ini membuat orang sibuk
bicara tentang “Quality Time”,
padahal Quantity juga penting.
Terkait dengan
tema “Konsep ‘Aqil Baligh”, hal ini sangat erat kaitannya dengan peran Home Education, karena pendidikan pada umumnya tidak seiring dengan
konsep pendidikan yang melahirkan generasi ‘Aqil
Baligh. Jika dilihat kembali ke jaman dahulu, tradisi generasi ‘Aqil Baligh sebenarnya pernah
berlangsung sampai era sebelum persekolahan modern masuk ke Indonesia.
Dulu, Indonesia
mengenal konsep Surau, Dayah, Rangkang,
Meunasah dan lain-lain. Para ulama dahulu menanamkan tradisi kemandirian
ketika menjelang ‘Aqil Baligh. Pada
umumnya anak-anak usia 8-9 tahun tidur di surau, bahkan malu jika masih tidur
di rumah.
Dilihat dari sirah Rasulullah SAW, beliau telah
memulai pendidikan generasi ‘Aqil Baligh
pada diri beliau sendiri, melalui bimbingan langsung dari Allah SWT. Usia 9
tahun, Rasulullah SAW telah magang berdagang ke Syams bersama pamannya.
Kemudian Rasulullah SAW mempraktekkannya kepada sahabah-sahabat muda (yang
masih anak-anak ketika Rasulullah SAW sudah menjelang senja).
Sirah mencatat bahwa Rasulullah SAW menikahkan Usamah ra ketika berusia 14 tahun. Kemudian Usamah ra ditunjuk menjadi panglima perang ke Tabuk pada usia 16 tahun. Dalam hal ini sangat tidak mungkin Rasulullah lalai ketika menunjuk seseorang dalam amanah/penugasan penting, melainkan Usamah sudah menjalani pendidikan generasi ‘Aqil Baligh, dengan pendidikan yang disesuaikan dengan potensinya masing-masing. Karenanya model pendidikan seperti ini kemudian menjadi tradisi selama ratusan tahun setelah Rasulullah wafat.
Sirah mencatat bahwa Rasulullah SAW menikahkan Usamah ra ketika berusia 14 tahun. Kemudian Usamah ra ditunjuk menjadi panglima perang ke Tabuk pada usia 16 tahun. Dalam hal ini sangat tidak mungkin Rasulullah lalai ketika menunjuk seseorang dalam amanah/penugasan penting, melainkan Usamah sudah menjalani pendidikan generasi ‘Aqil Baligh, dengan pendidikan yang disesuaikan dengan potensinya masing-masing. Karenanya model pendidikan seperti ini kemudian menjadi tradisi selama ratusan tahun setelah Rasulullah wafat.
Kita saksikan
sepanjang sejarah putra-putra ‘Aqil
Baligh Islam bukan hanya mandiri ketika ‘Aqil
Baligh, tetapi telah memiliki peran yang menebar rahmat dan manfaat. Imam Syafi’i
rahimahullah telah menjadi Mufti
(pemberi fatwa) pada usia 14 tahun. Al-Khawarizmi telah menjadi penemu
pemikiran-pemikiran matematika sejak usia 10 tahun dan menjadi guru besar di
usia 16 tahun.
Lantas
bagaimana dengan keadaan pendidikan saat ini? Sebuah jurnal Psikologi tahun
2009 menyebutkan bahwa penyebab penyimpangan perilaku generasi muda adalah
karena lambatnya pengakuan sosial pada kedewasaan mereka. Di Amerika, bahkan
kecenderungan seseorang dianggap dewasa ketika berusia 26 tahun.
Masyarakat yang menyerahkan anaknya pada persekolahan modern, akan sulit melahirkan generasi ‘Aqil Baligh.
Sistem persekolahan yang ada telah mensegregasi anak-anak kita menjadi
kelas-kelas sosial yang seolah telah baku. Misalnya disebut dewasa kalau sudah
kerja dan menyelesaikan kuliah. Di masyarakat modern, siapa yang mau menerima
anak-anak berusia 14-16 tahun dalam sebuah peran di sosial masyarakat? :)
Seorang pakar
psikolog Muslim, asal Turki, yang bernama Malik Badri, tahun 1985 pernah datang
ke Indonesia. Bukunya yang kita kenal dan banyak diterjemahkan adalah Dilema
Psikolog Muslim, mengatakan bahwa penjenjangan toddler, kids, teenager, adult dengan tahapan awal, tengah dan
akhir, bukan berasal dari landasan ilmiah. Itu hanya pengamatan psikologi barat
terhadap masyarakat mereka, yang kemudian diadopsi menjadi jenjang
persekolahan. Beliau menjelaskan bahwa Islam hanya mengenal dua periode kehidupan
di dunia, yaitu sebelum ‘Aqil Baligh
dan sesudah ‘Aqil Baligh.
Baligh adalah
kondisi tercapainya kedewasaan secara biologis. Bagi anak laki-laki dengan
tanda sudara membesar, tumbuh jakun, mimpi basah dan sebagainya. Bagi anak
perempuan ditandai dengan menstruasi dan sebagainya. Pada umumnya kondisi
baligh dicapai dalam rentang usia 13-16 tahun. Secara syariah ketika seorang anak mencapai ‘Aqil Baligh, maka berlakulah sinnu
taklif (masa-masa pembebanan syariah) baginya. Sehingga anak tersebut akan
mempunyai kesetaraan dengan kedua orang tuanya
dalam hal kewajiban syariah (shalat, puasa, zakat, haji, jihad, nafkah
dan kewajiban sosial lainnya). Pada saat yang sama mereka sudah menjadi manusia
dewasa yang memikul semua beban kewajiban yang sama dengan orangtua mereka.
Dalam hal ini
dijelaskan bahwa pendidikan Islam sejatinya menyiapkan anak-anak Muslim agar
mampu menerima kewajiban syariah ketika mereka mencapai ‘Aqil Baligh. Islam tidak mengenal konsep BALIGH belum ‘AQIL,
begitu juga ‘AQIL namun belum BALIGH,
alias REMAJA. Istilah remaja atau Adolescene
bahkan tidak dikenal di seluruh dunia sampai abad ke 19. Baligh (kedewasaan
fisik bilogis) mesti sejalan dengan Aqil (kedewasaan psikologis, sosial,
syariah). Kalaupun terjadi masa transisi, boleh saja asal tidak terlalu lama.
Kita bisa
saksikan bahwa anak-anak muslim generasi kini, mereka sudah baligh (secara
fisik) di usia 13-16 tahun, namun baru benar bisa mandiri (‘aqil) di usia 23-26
tahun. Berbeda dengan generasi muda masa Rasulullah saw dan Sahabat, di usia mereka yang masih belasan tahun sudah mempunyai prestasi gemilang layaknya orang dewasa (usia 23 ke atas) di jaman kita sekarang.
Semua ulama
Fiqh sepakat bahwa anak yang sudah ‘Aqil
Baligh (terutama pria) maka tidak wajib lagi dinafkahi. Kalaupun masih
dinafkahi, itu namanya shadaqah karena statusnya adalah dewasa fakir miskin. Bisa
kita bayangkan andai amanah Rasulullah saw tentang pendidikan generasi ‘Aqil Baligh ini dijalankan oleh ummat
Islam dengan baik sampai sekarang, niscaya terjadi percepatan peradaban yang luar biasa. Kenakalan dan penyimpangan
remaja yang menguras banyak tenaga, fikiran, air mata, nyawa dan bahkan
kehormatan tidak akan terjadi. ZERO WASTE GENERATION.
Peradaban Islam
dahulu yang sangat bagus menjadikan pemuda belia belasan tahun telah mencapai
peran-peran peradabannya di usia ‘Aqil
Baligh dengan karya-karya peradaban yang melimpah, bukannya sampah-sampah
peradaban.
Apakah Allah
swt lalai ketika menjadikan seorang pria mampu bereproduksi maka wajib berproduksi,
yaitu memampukan dirinya mengemban amanah syariah dan peran peradabannya?
Sepanjang
sejarah manusia dalam peradaban apapun, kita temukan bahwa kedewasaan sosial
psikologis (‘Aqil) umumnya dicapai pada saat kedewasaan biologis (Baligh).
Lalu apa
sebenarnya yang menyebabkan terlambatnya ‘aqil seseorang di saat dia sudah
baligh?
Lingkunganlah
yang menyebabkan kedewasaan itu melambat dan terhalang. Konsep sosial
masyarakat kita membuat pembatasan-pembatasan yang tidak berlandaskan fitrah
perkembangan manusia.
Mengapa
anak-anak remaja susah diatur, melawan, suka pulang malam, menginap di rumah
teman, dll, karena sejatinya mereka telah menjadi dewasa. Bukankah orang dewasa
tidak suka diatur? Karena orang dewasa itu memang suka mengatur dirinya sendiri.
Sebenarnya, tanpa kita lakukan apapun, anak-anak akan menjadi dewasa pada
waktunya, itu fitrah Allah. Hanya saja mengapa peran kita sebagai orangtua
menjadi begitu penting? Karena banyak yang menghalangi dan menghambat fitrah
ini, termasuk tanpa sadar yang menghalanginya adalah kita sendiri.
Diantara HAMBATAN
itu adalah keteladanan dan model persekolahan yang dihadapkan kepada anak-anak
kita.
Setelah
mengetahui hal ini, sudah seharusnya kita membangun kembali pendidikan yang “semestinya”
untuk generasi kita. Hal ini berkaitan erat dengan Home Education yang berawal dari keteladanan baik dari kita selaku
orangtua, berlanjut dengan HE secara
berjamaah yang inshaallah menjadi
lembaga yang mampu mengantarkan anak menjadi ‘Aqil Baligh (di waktu yang tepat) secara bersamaan.
No comments:
Post a Comment